Thursday, August 30, 2007

Makan Pagi

Senyum si waiter yang lebar itu menyambutku di pagi yang dingin itu.
Seperti biasa beberapa macam makanan pagi telah tersedia di meja buffet, scrambled egg, mashed potato, gorengan bacon, serta berbagai macam roti yang tidak semua aku kenal jenisnya, menunggu para tamu untuk mengambilnya sendiri.

Setelah mengangguk menyapa si waiter, sambil sekedar menanggapi basa basinya, how do you sleep last night, fine, a little bit cold….big diffferent from your country right? etc etc bla bla bla ….
Akhirnya aku bisa duduk dengan tenang di meja pojok sambil terkantuk kantuk menikmati secangkir kopi kental, with milk but just one block of sugar.
Sejenak kerinduan yang sangat muncul untuk menikmati kopi tubruk, yang jauh lebih wangi dari kopi para bule ini.

Sudah seminggu ini kami bersepuluh tinggal di Holiday Inn ini. Tapi lain dengan Holiday Inn berbintang lima yang ada di tanah air, di sini Holiday Inn merupakan hotel biasa, lebih mendekati losmen, hampir bisa ditemui di semua tempat.
Menyediakan penginapan dengan tarif yang cukup memadai untuk para pelancong yang kebetulan lewat dan membutuhkan tempat menginap melewatkan malam. Tentu saja

Hari hari pertama memang masih menyenangkan karena semua hal hal baru yang kami temui di sini. Setelah seharian mengikuti seminar, sore harinya jika mendapat pinjaman mobil, kami bisa berkeliling di toko toko terdekat, atau dinner di berbagai restoran kecil di downtown. Tetapi setelah seminggu lewat, antusiasme para tuan rumah sudah jauh menurun, mobil pun sukar untuk dapat dipinjam, membuat kita sepanjang sore setelah seminar selesai hanya terkurung di dalam losmen kecil ini.

Masa training yang masih cukup panjang membuat beberapa teman mulai mengomel. Beberapa teman mengeluhkan menu di restoran hotel yang tidak lebih dari 20 macam itu terlalu monoton, bagi perut Indonesia yang tidak kenyang jika tidak dimasuki nasi, pilihan ‘with rice’ pun lebih menyempit menjadi 4 pilihan saja. Itu pun bukan beras pulen, putih, wangi nan kenyal seperti yang biasa kita makan di rumah, melainkan Cajun rice, sejenis beras yang lebih panjang, lebih kuning, jika ditanak menjadi nasi akan lebih keras, apalagi dengan cara memasak mereka seakan setengah matang, membuat salah seorang teman berkomentar dirinya adalah seorang penari kuda kepang yang sedang makan beras mentah.

Pagi itu suasana di restoran masih sangat lenggang, wangi roti yang baru dipanggang semerbak memenuhi ruangan bercampur dengan gurihnya bau bacon yang sebagian masih terdengar mendesis panas di dalam nampan di ujung menja buffet. Teman teman masih belum ada yang nampak ujung hidungnya, mungkin mereka masih bergulung nyaman di dalam selimut di pagi yang cukup dingin ini. Mungkin diriku yang tidak enak tidur semalaman, terbangun sangat pagi dan tidak dapat lagi memejamkan mata, memutuskan untuk turun dulu ke ruang restaurant. Para waiter sudah tidak nampak batang hidungnya, mungkin semua sedang masuk di dalam kitchen area, menyiapkan hidangan breakfast yang masih belum siap.

Aku terkantuk kantuk sambil menghangatkan tangan di gelas kopi yang hangat itu. Lampu penerangan telah dipadamkan, sementara sang matahari masih enggan menyembulkan diri sepenuhnya, membuat ruang itu tampak remang remang.
Denting sendok dan garpu terdengar samar dari dalam ruang dapur. Selain itu semuanya senyap.
Kaca yang besar yang tebal yang menahan dinginnya udara luar juga membuat semua kicau burung tidak lagi terdengar dari dalam.

Saat itulah aku tiba tiba melihat sosok hitam yang duduk di meja pojok berseberangan dariku. Seorang tua berkulit hitam yang berpakaian butut, mereka di sini disebut homeless people, alias para gelandangan.
Aku telah melihat beberapa gelandangan di LA minggu lalu saat transit dan menginap di sana.
Lain dengan para gelandangan di sini yang berpakaian compang camping dan robek, kebanyakan dari mereka meski mengenakan pakaian bekas tetapi tidaklah sekumuh gelandangan di tanah air.
Tetapi banyak di antara yang menggenggam kantong kertas berwarna coklat yang dalamnya berisi botol minuman keras, sungguh mengenaskan bahwa mereka lebih suka menghabiskan uang yang didapatnya untuk minum daripada membeli makanan.

Terheran heran aku mengamati sang orang tua di ujung meja, bagaimana dia bisa masuk ke dalam ruang resto di hotel ini.
Petugas sekuriti di pintu depan pasti tidak mengijinkannya masuk.
Tetapi dia telah duduk di sana, matanya menatap kosong jauh, jaketnya yang tebal berwarna coklat tua lusuh, sweater yang abu abu telah mulai menghitam di banyak tempat.
Tanggannya saling menggenggam di depan dadanya, seakan sedang berdoa.

Pandangannya yang kosong perlahan beralih memandangku, tampaknya ia menyadari bahwa di ruangan ini selain dirinya juga masih ada orang lain yang duduk, aku.
Heran…. jika benar ia seorang gelandangan pastilah dia telah mengambil makanan dan minuman yang banyak tersedia di sana.
Tetapi dia hanya duduk terpekur di sana menatap kosong, seakan melamun, atau seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Suatu perasaan yang aneh menyelimutiku saat orang tua itu menatapku, suatu perasaan yang dingin, jauh lebih dingin menusuk tulang dibandingkan dengan hawa pagi di luar. Bulu kudukku meremang, demikian juga pori pori di tangan yang terbungkus dalam sweater ini.
Ternyata aku telah bertemu dengan makhluk ‘lain’, sungguh tak kunyana di tengah kehidupan di negara adidaya nan modern ini, aku juga masih bisa bertemu dengan mereka.

Sesaat saling bertukar pandang, ia seakan bertanya sedang apa kalian di sini.
Mungkin penampilanku yang tidak sama dengan para bule yang menarik perhatiannya sehingga ia ‘singgah’ untuk menyapaku.
Tetapi bagaimanapun kehadirannya membuatku sangat tidak nyaman, keringat dingin mengucur deras di pelipis, leher membasahi pakaianku.

Seakan tahu akan ketidaknyamananku dia tersenyum..senyum kecut, yang makin lebar…menyeringai menampakkan gigi geliginya yang telah ompong di beberapa tempat, tampak kuning coklat karena nikotin.
Bisa kurasakan bau busuk yang menyebar dari mulutnya , terselip tajam…menyeruak di antara wangi roti panggang dan sedap bau bacon.
Perasaan jijik berkecamuk di dalam perutku, setengah kopi hangat yang baru kuteguk bergolak memaksa naik ke atas.

Kedua kaki dan tanganku seakan lemas tak berdaya untuk kugerakkan, orang tua itu makin lebar menyeringai.
Tampak lidahnya yang biru bercampur ungu bergelung kaku di dalam.
Mulutnya ternganga seperti seseorang yang akan tertawa terbahak.
Ketakutan yang amat sangat menyelimutiku…mulutnya makin besar menganga…

....sampai akhirnya terdengar suara “ODD, ODD……..BANGUN oi….Gila lu, pagi pagi udah molor di restoran.”, suara Budi menarikku kembali sadar dari mimpi burukku.

Kulihat suasana restoran yang telah menjadi terang karena sinar matahari telah banyak masuk, beberapa teman lain yang ikut masuk bersama Budi tertawa terkekeh kekeh melihatku gelagapan terbangun.
Yang pasti mulai besok aku akan cari seseorang teman lain menemaniku sebelum aku turun untuk sarapan di tempat ini.

OddieZ, Wisconsin 1997.