Monday, February 2, 2009

Bukan waktu menelan lagi.

Gemetar tubuh kecilku berdiri di dinginnya udara pagi.

Dari belakang kulihat tubuh kakek masih tegap dalam usia tuanya dengan rambut putihnya yang tanpa selembar rambut hitam pun. Jika dilihat dari depan, akan terlihat kedua alisnya yang putih semuanya. Wibawa sebagai seorang bekas guru yang telah mengajar bertahun-tahun tidak lekang dihapus waktu.

Kebingungan kumelihat di depan rumah, di jalan kampung yang kecil, suara berdentum dentum memancar dari dua speaker raksasa yang diletakkan di atas sebuah becak, lagu dangdut diputar keras-keras ditambah dengan teriakan teriakan para pemuda seakan2 tidak cukup keras bunyi lagu itu.
Apakah ada maling yang tertangkap ? Atau sedang ada kebakaran ? Gempa bumi ? Tetapi mengapa kok mereka malah memutar lagu , memakai speaker lagi, banyak yang tertawa-tawa dengan paras mengejek.

Terasa sepasang tangan hangat memelukku dari belakang,” Bu Yao Ba!”, Jangan Takut, kata nenek. Didekapnya tubuhku yang masih bergetar ke arahnya.
“Kami sudah bangun semua”, terdengar suara kakek cukup keras menembus keributan,” Mau apa lagi ?”. Kedua tangannya terkepal keras, seakan siap menghantam jika salah seorang dari mereka nekad masuk ke dalam rumah.

Beberapa saat kemudian, rombongan itu berlalu meyusuri jalan kampung yang sempit, bunyi lagu terdengar makin pelan bersama teriakan-teriakan itu,” Sahur..sahur…sahur..”

Pertama kali kubelajar menelan harga diri.

--@-@--
Beberapa pemuda korak (kotoran rakyat; gali; preman) itu terlihat mengelilingi Oom Chiu, dari kejauhan kulihat percakapan mereka jauh dari omong-omong biasa, terlihat dengan acungan jari ke muka Oom, beberapa di antara mereka bahkan terlihat mengacung-acungkan celuritnya. Perdebatan terlihat semakin sengit, sampai akhirnya Abah, demikan kami semua para tetangga memanggilnya, pemilik toko kelontong yang punya rumah paling bagus di kampung ini, maju untuk menengahi. Para pemuda itu pun bubar, mundur dengan muka terpaksa, takut kualat kalau kurang ajar terhadap Pak Haji.

Semua orang mengenal Oom Chiu, tukan reparasi senapan angin, bukan saja dia terkenal karena ketepatannya dalam membidik sasaran, melainkan juga karena sifatnya yang ramah dan baik kepada semua orang. Suatu waktu dia pernah membagi-bagi buah kelapa, semua tetangga dibaginya, setidaknya dua butir, katanya dia baru kembali dari berburu bajing, empunya kebun senang jika dibantu menghilangkan hama yang bikin banyak kerugian itu, dua bajing untuk sebutir kelapa, alhasil Oom pun pulang dengan hampir satu pick-up penuh kelapa, ditambah dengan daging bajing hasil buruannya.

Seratus ribu !
Pada jaman itu, bukanlah suatu jumlah yang sedikit. Banyak keluarga di kampung itu yang pendapatannya sebulan tidak sampai sebesar itu, termasuk juga Oom Chiu yang orderan reparasi senapan anginnya kadang ramai kadang sepi. Tetapi itulah ganti rugi yang diminta oleh para pemuda tadi. Awal ceritanya, pagi tadi Oom Chiu diminta tolong untuk menembak seekor burung alap-alap yang tiga hari belakangan ini selalu hinggap di atas atap para warga, beberapa tetangga yang memelihara ayam dan burung dara kuatir kalau peliharaan mereka diserang oleh burung buas itu. Burung alap-alap meskipun adalah peliharaan yang lepas, pada dasarnya masihlah burung buas, jika terlepas tidaklah seperti burung dara bisa kembali sendiri ke sangkarnya, malah dia akan mencari makanan sesuai instingnya, daging segar. Dengan ketepatan seorang profesional, sebutir gotri cukup membuat burung itu jatuh ke bawah, setelah itu muncullah segerombolan korak yang mengaku mereka lah empunya burung itu.
Jumlah uang ganti rugi telah diminta, ultimatum adalah waktu maghrib hari ini, jika tidak ada uang, maka mereka siap untuk ber’perang’, boleh pakai senapan, boleh pakai celurit, silahkan pilih mau mati dengan cara apa, demikian sesumbar mereka.

Usul untuk menggantinya dengan burung alap-alap yang baru dan lebih besar tidak mereka terima, padahal di pasar burung, burung serupa dengan badan yang lebih besar tidak lebih dari tiga puluh ribu rupiah.

Beberapa tetangga kemudian sesuai dengan kemampuan masing-masing, mengumpulkan uang, sampai akhirnya cukup, daripada rumahnya terkena peluru nyasar.

Untuk kesekian kalinya kubelajar menelan harga diri.

---O—O---

Sekarang sudah lain, Imlek telah menjadi hari libur nasional, dulu mimpi pun tidak berani. Barongsai menjadi tontonan utama di tv saat imlek.
Kursus- kursus bahasa mandarin telah boleh buka secara terang-terangan, tidak sama dengan dulu, harus sembunyi-sembunyi, jika ditanya ke mana, harus menjawab pergi les matematika.

SBKRI sudah tidak perlu lagi untuk mengurus paspor, katanya, yang mana pejabat-pejabat imigrasi masih sama memintanya, namun segera diperbaiki, katanya. Jika hal ini saja tidak beres, mana mungkin orang memilih presiden ini lagi tahun ini.

Tetapi perjalanan masih terus berlanjut..
Pembangunan patung naga didemo, harus dihentikan.
Pertunjukan barongsai harus dilarang.
Penggunaan aksara Cina harus dilarang.
Masih ada kelompok-kelompok yang serupa dengan korak pengiring becak atau pemilik burung alap-alap.
Mungkinkah ini bukan waktu untuk menelan harga diri lagi.

Mojoville, 2 February 2009
Oddiezz.