Tuesday, July 31, 2007

Genderuwo

Suatu desa kecil di pinggiran kota Lumajang, perbatasan dengan kota Jember, ada sebuah rumah kuno yang berdiri sejak jaman Belanda. Di sana tinggal kakak beradik keturunan Cina. Kedua perempuan ini hidupnya sangat sederhana, berpenghasilan dari keahlian mereka menjahit bagi penduduk desa setempat. Hasil jahitan mereka terkenal
teliti dan halus, terutama bordiran tangan di sarung bantal ataupun sulaman di baju.

Kehidupan mereka yang sederhana, bahkan bisa disebut miskin, seakan menghapus mitos yang selama ini terbentuk bahwa warga keturunan selalu hidup berkecukupan. Ibu mereka adalah generasi ketiga yang lahir di negeri ini, meskipun warga keturunan ibu mereka selalu berkebaya, bersanggul, memang ada sebagian warga keturunan masa itu yang telah beradat Jawa.
Berkain dan kebaya, biasanya dengan kebaya atasan yang tipis menerawang, putih umumnya. Ibu mereka juga terkenal dengan keahlian menjahitnya inilah yang kemudian diwariskan kepada kedua anaknya.

Sang ayah telah meninggal sejak mereka berdua sangat kecil. Karena itu mereka harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi, semasa mereka kecil kehidupan lebih sulit karena hanya ibunya seorang yang menjadi satu satunya yang bisa mencari orang, untunglah hubungan baik terjalin antara mereka dan seluruh penduduk desa, tak sedikit bantuan yang diberikan para tetangga yang merasa kasihan pada mereka, setelah kedua gadis itu bisa menjahit membantu ibunya maka perekonomian mereka pun beranjak membaik.

Rumah besar mereka masih sangat kuno dengan ruangan yang luas dan tinggi, dikelilingi oleh halaman yang luas dengan beberapa pohon mangga dan rumpun bambu di belakang rumah. Menurut penduduk, rumah itu tergolong angker karena banyak ‘penghuni’nya. Sarang Genderuwo, begitu menurut anggapan warga desa. Genderuwo adalah sejenis lelembut yang usil, seringkali menggoda manusia, kebanyakan penampakan sebagai makhluk tinggi besar hitam berbulu lebat bak gorila. Kedua kakak beradik itu tidak menyangkalnya, tetapi karena sejak lahir mereka tinggal di sana seakan terbiasa menghadapi hal hal yang demikian. Orang lain yang tidak kuat mentalnya pasti akan berpikir dua kali untuk tinggal di sana.

Suatu waktu ada seorang sepupu perempuan mereka yang datang berkunjung dari kota , karena kemalaman dia pun menginap. Waktu malam karena hendak buang air kecil ia pun ke WC. Seperti rumah tua pada umumnya, WC dibangun terpisah dengan bangunan induk, untuk menuju bangunan kecil yang digunakan sebagai WC haruslah melewati pekarangan rumah belakang.
Malam itu sang sepupu terpaksa memberanikan diri, setengah berlari menuju ke WC yang diterangi dengan lampu 10 watt yang berayun diterpa hembusan angin. Tengah jongkok menunaikan hajat, dilihatnya sesuatu benda kecil melintas cepat di sela daun pintu dengan lantai, pasti tikus…ia pun bersiap siap untuk berdiri dan berlari karena dia jijik terhadap jenis hewan pengerat itu.
Benda itu melintas lagi…berlari lari di depannya beberapa kali, tiba tiba berhenti di depannya, dipicingkan matanya untuk melihat jelas benda itu di bawah temaram lampu, astaga ternyata potongan tangan seorang bayi, terdiri dari pergelangan dan telapak tangan. Terbirit birit ia berlari menuju ke bangunan induk dengan teriakan yang membangunkan seisi rumah.

Kamar mandi mereka masih menggunakan bak besar, yang diisi dengan air yang ditimba dari sumur. Seringkali tengah malam terdengar orang yang sedang mandi, padahal kedua kakak beradik itu telah tertidur pulas. Keesokan harinya terlihat lantai kamar mandi dengan bak mandi yang kosong, padahal sore sebelumnya telah terisi penuh.

Pernah juga suatu malam sang adik pulang dari kondangan di desa sebelah, pada saat malam hari lewat pekarangan depan rumah, tepat di bawah pohon mangga yang besar, seakan air jatuh dari langit hujan lebat, sesaat saja dan hanya di atas kepalanya. Setelah tercium bau pesing , barulah dia sadar kalau itu adalah air kencing, seakan ada makhluk yang besar mengencinginya dari atas pohon.

Tetapi ada juga pengalaman yang sudah terjadi cukup lama, yaitu saat listrik belum masuk desa. Untuk mengejar orderan yang cukup banyak, sang kakak menjahit sampai larut malam di bawah penerangan lampu Petromax, tiba tiba dari belakang tercium bau rokok kretek, kemudian tanpa ada angin yang berhembus, nyala lampu tiba tiba meredup sampai hampir padam, kemudian menyala lagi terang, semikian terjadi beberapa kali. Sadar bahwa ada lelembut yang sedang ‘mengerjai’ dirinya, maka sang kakak berucap seakan berkata kepada seseorang di dekatnya dengan bahasa Jawa ” Wong podho golek penguripan dhewe dhewe mbok ojo saling ganggu ono” (artinya Kita khan mencari penghidupan masing masing, alangkah baiknya tidak salig mengganggu). Tak lama kemudian gangguan itu berhenti, bau rokok tak tercium lagi, di kejauhan di atas rumpun bambu yang tinggi tampak satu titik merah menyala, seakan ada seseorang menghisap rokok di sana.

Tetapi bagaimana pun mereka masih sangat takut untuk berhadapan langsung dengan makhluk halus itu. Suatu sore menjelang Maghrib, kala sang kakak sedang mandi, sang adik telah bersantai duduk di depan teras rumah dengan dua gelas ’teh- hangat di sampingnya dan sepiring pisang goreng mengepul harum. Saat akan diambil potongan kedua pisang goreng, tiba tiba dilihatnya ada tangan hitam berbulu besar berkuku hitam panjang ikut mengambil pisang goreng di atas piring. Sang adik tak berani menoleh ke sebelah menatap wajah makhluk itu, dia hanya melirik ke bawah, terlihat dua kaki besar berbulu hitam lebat, mirip sekali gorila.Dalam kediaman kedua makhluk itu makan pisang goreng. Sampai tersisa dua potong terakhir pisang di atas piring, sang adik pun berkata “Kari loro yo, kon sithok aku sithok” ( Tinggal dua yah, kamu sepotong aku sepotong).
Setelah itu diraihnya satu potong pisang, dikumpulkan segenap tenaga untuk berdiri di atas kedua kakinya yang lemas itu dan berlari sekuat tenaga masuk rumah dan membanting serta mengunci pintu.
Ini adalah pertemuan terdekat antar mereka dengan para genderuwo, Closest Encounter – seperti disebut Agent Scully dalam serial TV- The X-files.

Kisah ini diceritakan oleh seorang teman yang masih saudara jauh dari empunya rumah, jika ada yang tidak percaya ia bersedia menunjukkan lokasi yang dimaksud, tentunya dengan resiko ditanggung sendiri……

Mojoville, October 2002

Saturday, July 28, 2007

Suatu siang di kantor


Siang ini sungguh berbeda dengan siang-siang lain di kantor.
Mendung gelap menggayut, menyelimuti angkasa, siap sewaktu-waktu menumpah ruahkan butiran air yang sudah sarat dikandungnya. Sang mentari seakan mengambil cuti dengan tidak menampakkan diri sejak pagi tadi.

Jumat siang ini sungguh sunyi, dua rekan kerja telah meninggalkan meja mereka begitu bel berbunyi. Pastinya pergi untuk sholat, sementara seorang rekan pulang ke rumah untuk makan siang.

Kuteguk minuman diet yang kubuat pagi tadi.
Dengan bekal sedikit keteguhan hati sudah dua hari kulewati tanpa menelan makanan padat, hanya dengan beberapa botol minuman diet alami, yang kubuat sendiri setelah tergoda hasil nyata seorang teman yang menjadi sangat langsing setelah memraktekkannya.

Lampu kantor yang dipadamkan oleh teman-teman seperti kebiasaan setiap saat istirahat, siang ini terasa sangat gelap.
Nyala monitor terang, sementara aku baris demi baris membaca celotehan teman-teman sesama alumni SMA yang saling bersambut di homepage ‘khusus alumni’, di mana ada juga guru-guru berjiwa muda yang ikutan nimbrung.

Di tengah jari jari iseng ini mengetik reply pada suatu topik tentang pembahasan hantu di ruang tidur anak seorang kakak kelas, reply yang tak pernah kukira tak jadi kupost.

Karena tiba-tiba suatu hembusan udara dingin bertiup ke leher bagian belakangku.
Pasti bukanlah AC yang sedari tadi menderu stabil.

Wangi kembang menyergap lubang hidung, mengingatkanku pada bau khas setiap kali kulewat di depan stand penjual bunga dan kain kafan di sebelah pasar itu.

Otak ini segera bereaksi menyuruh kedua kaki secepatnya beranjak untuk meninggalkan kantor kecil ini, insting mencari tempat di mana masih ada orang lain, setidaknya di luar pasti ada beberapa office boy atau karyawan lain yang sedang lalu lalang di dekat tangga.
Tetapi kaki dan badan seakan membeku kaku tidak menuruti perintah.

Dari sudut lemari muncul sosok putih, berambut panjang sebahu, melayang mendekat.
Iya benar, melayang, Karena ia tidak perlu berjalan berbelok di sela meja dan kursi, melainkan melintas di atasnya.
Dan ia mengarah tepat ke arahku.

Tak jelas nampak mukanya.
Tetapi sesuatu membuatku tahu makhluk itu adalah seorang perempuan dan ia tidak bermaksud baik.

Dengan cepat kuteringat sepintas cerita beberapa rekan bagian IT yang kerap lembur sampai malam bahwa beberapa orang sempat berpapasan dengan bayangan putih yang melintas dari kamar mandi dan masuk ke dalam kantor.
Ya Tuhan, berarti benar yang mereka maksudkan adalah kantor ini.

Sementara makhluk itu bergerak pelan tapi pasti ke arahku, mataku menatap nanar ke depan masih tidak dapat melihat jelas muka pucatnya yang tertutup oleh rambut panjang beriap-riap. Tapi yang pasti yang kulihat sebuah seringai mulut yang penuh dengan gigi kuning.

Tuk tuk tuk….sialan ternyata bunyi gemeretuk gigiku sendiri yang gemetar tak keruan.
Keringat dingin membasahi kening dan mulai menetes di mukaku yang sama pucatnya dengan warna laptop ini sekarang.

Tinggal jarak satu meja saja, makhluk yang telah mengulurkan tangan itu pasti bisa meraih diriku yang terdiam, tak bergerak terbelenggu oleh ketakutan yang amat sangat.

Tiba-tiba makhluk itu terhenti, berhenti di depan meja rekanku yang sedang pulang makan siang. Ia menatap tajam ke atas meja dan mulai mundur perlahan.

Tak terasa pandanganku ikut melihat atas meja. Tampak sebuah gelang batu berwarna hitam kekuningan yang biasa dipakai oleh temanku, tertinggal di atas meja. Memang waktu mengetik gelang batu itu biasa dilepasnya karena berbenturan dengan kaca alas meja. Siang itu pasti ia lupa memakainya pulang.

Makhluk itu terus mundur tanpa melepaskan pandangannya ke gelang itu.

Diriku yang sudah tidak menjadi obyek utama serangannya sudah mulai bisa bergerak, kaki tangan yang tadinya kaku mulai terasa hangat dan bisa digerakkan. Ternyata pandangan makhluk itu yang seakan menghipnotis, mengikat erat seluruh tubuh ini.

Makhluk itu mundur lebih cepat dari pergerakan majunya tadi.
Sebentar ia pun masuk ke ujung gelap ruangan.
Bersamaan dengan itu pintu terbuka dan kedua rekan kerja yang baru kembali dari sembahyang berjalan masuk.

Melihatku wajahku yang pucat pasi, mereka dengan cepat membuat secangkir teh manis panas untukku.
Baru kemudian bibir ini mampu bergerak dan bercerita kepada mereka.

Setelah kutanya pada empunya gelang, gelang macam apakah itu penolongku itu. Katanya hanyalah gelang biasa dari batu tiger eye, hanya saja sering digunakan sebagai tasbih, jika sedang menganggur, batu-batu itu diputarnya sambil menggumamkan mantra pujian.
Mungkin itulah, yang menyelamatkanku siang itu.

Tetapi yang pasti akan butuh waktu lama sekali sebelum aku berani sendirian di ruang kantor ini.

Mojoville, July 27, 2007.

Monday, July 23, 2007

Make a memory

Malam ini kuakan tulis semua cerita yang aku bisa sebelum kutertidur.
Kubayangkan, setiap cerita yang kutulis akan dimuat oleh koran-koran terkemuka yang biasanya memuat cerpen cerpen para sastrawan yang jarang bisa dimengerti oleh para pembaca.

Seekor nyamuk sialan masih terbang melenggang santai di depan mata. Tangan yang sibuk bergemelitik di atas keyboard tak cukup cepat utk kuangkat dan kuhantamkan ke arahnya.

Lagu Bon jovi – Make a Memory, yang baru, setidaknya yang baru kukenal mengalun sendu dari earphone memasuki kepalaku seakan tak mau keluar lagi. Menjadi panduan mimpi indah, nanti , nanti jika sudah bisa kukuak mimpi, menyelam dalam tidur yang tak kunjung tiba.
If you don’t know if you should stay.
and if you don’t say what’s on your mind.
………..
If you go now, I understand

Sungguh sangat terlambat bagiku sekarang untuk mengetahui kabar lagu lagu baru yang lagi ngetop di papan billboard dari desa terpencil seperti ini. Di tiap saat kembali ke sini aku merasa melakukan perjalanan waktu kembali ke sepuluh tahun silam, di mana masih banyak sepeda sepeda berkeliaran di jalan, dan memang seperti itulah di sini.

Nyamuk sialan itu lewat lagi, tanganku yang lagi kesurupan tidak bisa berhenti mengetik, secara reflek melakukan dua kali pukulan belalang mengepit mangsa, tanpa hasil.
Terpaksa harus kuhentikan tulisan yang tak keruan juntrungannya ini, berburu makhluk penghisap darah sialan yang masih terbang bebas merdeka (at least for a while), jika tidak nanti malam aku tak kan dapat tidur dengan tenang … atau nanti pagi…

You wanna make a memory……

Bon jovi…still has it.

Oddiez.
Two minutes to dreaming.
July 22, 2007

Persahabatan jari.

Ujung-ujung jari tanganku terasa hangat, dengan sedikit rasa kesemutan. Jelas terasa karena berapa tegukan VSOP yang baru membasahi kerongkonganku ini.
Tapi yang penting sekarang mereka sudah bisa dengan tanpa canggung menari-nari lincah di atas keyboard putih, di laptopku yang juga serba putih ini.

Ugh, bagaimana mungkin aku menjadi seperti yang diceritakan oleh penulis kesayanganku dalam salah satu novelnya, tentang seorang penulis yang tidak bisa lagi menulis setelah ditinggal mati oleh istrinya.
Karena aku sama sekali bukan seorang penulis, dan apalagi belum ditinggal mati oleh istri, haha.

Aku hanya seorang pemimpi yang mencoba menuliskan impiannya, yang sekarang kehabisan ide atau inspirasi atau apapun yang membuatku menulis.
Padahal dari dulu dengan mudah segala isi pikiran dapat kutumpahkan ke dalam tulisan, sehingga kapasitas storage otak dapat kembali kosong untuk pikiran baru yang tak hentinya muncul bak tauge tumbuh dari kacang ijo.

Atau mungkin dengan laptop baru ini, nuansa menulis menjadi hilang, karena aku menjadi mengetik dibandingkan dulu menulis. Menulis di kertas putih, halaman kebalikan dari dokumen-dokumen kerja yang sudah tak terpakai lagi. Yang nanti jika ada waktu baru kuketik ulang dan kusimpan ke dalam file file yang menumpuk usang di salah satu folder kuno di sudut sempit harddisk, di sela gunungan file file pekerjaan yang nampaknya jauh lebih penting.

Pasti bukan karena minuman ini.
Karena di malam-malam lain, berkali lipat dari dosis yang kugelegak sekarang, masih tidak membuatku mampu mulai memencetkan jari-jari tanganku di atas tuts tuts perawan keyboard ini dan mengetikkan sebuah kalimat yang mempunyai arti,

Mungkin malam ini, kali pertama para jari mulai mengulurkan tanda persahabatan dengan para tuts keyboard sekalian. Dan para tuts membuka hati membiarkan para jari menari dengan lembut di atas mereka untuk menuliskan apa saja yang dipikir oleh otak, tak peduli itu berarti atau tidak.

Semoga persahabatan antara otak , para jari, tuts dan laptop dimulai dengan baik dan berlangsung dengan langgeng sehingga ide ide gila sang otak dapat tertumpahkan di dalam file-file bulukan di sudut gelap folder terkucil.



OddiezZ
Mojoville
July 22, 2007
Sleepless night.

Frozen heart

I frozed my heart once.
At least I think I did.
A thick layer of ice should protect it,
from anything or anyone that could hurt it.
Even though I never felt happiness too.

It melts..
I can feel it,
the ice is certainly melting now.

Someone or something warm must get too close.
Too late to avoid.

I can feel the pain again.
Tears can run down again wetting my cheeks.
Though chuckles and big grins also appear sometimes,
exposing my teeth and my merry heart.
And suddenly I can start to write again.

I realized….all this time.
It’s only recess time.
Before the life goes on, and I am still in it.

With bitter pain and torture….
and sweet love and caring..

Have to train this old heart again.
To recover from its numbness
To feel and live again….. once more.


Oddz.
Mojoville, Sunday night,
22 July 2007

Tuesday, July 10, 2007

Penabur Abu Jenazah

Di pesisir pantai Pasir Putih itu tampak serombongan orang, belasan jumlahnya , kebanyakan berpakaian putih dan hitam, tak tampak sedikit pun warna merah di pakaian mereka. Sejak pagi mereka telah tiba di pantai, menjelang siang mereka berdesakan di sebuah perahu penangkap ikan berukuran sedang, menuju ke tengah laut. Jika diamati dari dekat tampak ekspresi kesedihan mereka, ternyata mereka bermaksud untuk menabur abu jenazah.

Belakangan ini di tengah sukarnya mencari lahan pekuburan, semakin banyak orang memilih cara kremasi, kemudian abunya ditabur ke laut. Karena itu semakin sering pula di pantai muncul rombongan seperti pagi ini.

Udin menatap tajam ke perahu hijau yang baru merapat itu. Dilihatnya salah seorang dari rombongan itu memberikan beberapa lembar uang kepada sang tukang perahu. Memang jumlah uang yang didapat cukup besar untuk pekerjaan yang membutuhkan waktu tidak sampai setengah hari itu, sama dengan hasil melaut selama beberapa hari.

Itulah yang menjadikan Udin sangat ingin mencoba mengantarkan rombongan semacam itu ke tengah laut. Tetapi herannya setiap kali ada rombongan penabur abu jenazah yang datang mencari perahu untuk disewa, penduduk sekitar maupun sesama rekan nelayan selalu menyuruh mereka untuk mencari perahu berwarna hijau itu, perahu Pak Juhari.
Pak Juhari sudah mulai menginjak usia senja, sudah tidak lagi terlalu sering melaut jauh ke tengah, kebanyakan membawa turis melihat karang di tepian, malam hari jika melaut juga di tepian saja, mungkin karena kondisi fisik yang sudah tidak mendukung lagi.

Udin berpikir mungkin inilah alasan semua orang memberi kesempatan bagi Pak Juhari untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari melayani para penabur abu jenazah.
Malam hari, Udin mendekati perahu hijau, Pak Juhari sedang membenahi jaring bersiap untuk melaut. Udin sengaja hendak menemui Pak Juhari sebelum mulai mencoba mengantar rombongan abu jenazah, dengan pertimbangan semakin banyak rombongan yang datang ia juga ingin ikut berbagi rejeki, tetapi karena selama ini Pak Juhari yang sering mengantarkan, tidak ada salahnya ia permisi dulu.

Pak Juhari tersenyum tipis ketika Udin mengutarakan maksudnya, manggut manggut, memang kebutuhan hidup Pak Juhari seorang diri tidaklah banyak, tidak menjadi masalah untuk berbagi rejeki dengan anak muda yang berkeluarga beranak dua itu. Udin sangatlah senang mendapatkan ‘ijin’ dari nelayan sepuh itu, periuk nasinya akan mendapatkan sumber rejeki tambahan agar dapat terus mengepul.

Saat Pak Juhari mengajaknya melaut bersama malam itu, dengan senang hati ia pun mengiyakan.
Sudah 4 jam mereka berdua menarik dan melempar jala, heran hati Udin melihat betapa banyaknya hasil ikan malam itu, padahal Pak Juhari hanya mendayung perahu di tepian pantai saja. Sedang Udin yang sehari hari melaut sampai ke tengah laut pun jarang mendapatkan hasil seperti ini. Menjelang tengah malam, mereka pun berhenti sejenak melepas penat, Pak Ju menuangkan kopi panas untuk mereka berdua dari termos yang disiapkan sebelum berangkat tadi.

Udin mengeluarkan sebungkus rokok kretek favorit nelayan setempat, sampai menjadi mithos banyak mencari ikan haruslah merokok merk itu, karena hasil tangkapan pasti akan banyak. Sejenak suasana menjadi hening, hanya terdengar ombak memecah kecil di badan perahu. Pak Juhari berkata lirih, “Memang Nak, setiap siangnya aku mengantarkan orang melarung (menabur abu), pasti malamnya aku akan panen ikan, karena itu malam ini aku melaut, juga mengajakmu karena bisa membantu menjala. Ndak tau, apakah mungkin dibantu roh yang aku bantu tadi.”

Udin terdiam tak tahu mau menjawab apa, karena dia juga merasakan keanehan ini, seketika angin laut menjadi sangat dingin menembus jaket tebal yang dikenakannya, bulu kuduknya meremang. Kembali keduanya dibalut kesunyian, duduk di dekat salah satu ujung kapal, di mana ujung kapal satunya hampir tertumpuk oleh ikan hasil tangkapan mereka tadi. Nyala lampu petromax bergoyang seiring gerakan perahu yang dialun gelombang, wangi tembakau merebak tipis dari ujung rokok mereka berdua, dengan asap tipis yang dengan cepat hilang diterpa angin.

Saat Udin hendak bertanya apakah sudah waktunya untuk pulang dengan tangkapan sebanyak itu, tiba tiba dia melihat sesosok tubuh di ujung perahu satunya, sesosok tubuh wanita seharusnya melihat rambutnya yang panjang sedikit di bawah bahu, berpakaian putih, bermuka pucat, duduk diam tak bersuara memandang mereka berdua. Keringat dingin mengalir di pelipis Udin, bibirnya kering lidahnya kelu tak mampu bergerak ketika ia hendak memanggil Pak Juhari.

Hampir 10 detik ia terdiam kaku saling bertatapan dengan sosok wanita itu, sampai akhirnya Pak Juhari menyadari keanehan sikap Udin dan mengikuti arah tatapan matanya ke ujung perahu satunya.

Dengan suara lirih Pak Juhari berkata,” Terima kasih Non, malam ini memberi rejeki pada bapak, semoga Non bisa tenang di alamnya”. Sehabis perkataan itu, bayangan putih itu pun perlahan kabur dan menghilang.

Udin seakan baru tersadar ketika Pak Ju menuangkan lagi kopi panas ke gelasnya yang hampir kosong itu, hangatnya kopi yang mengalir masuk kerongkongannya seakan membuat darah mulai mengalis di tubuhnya, wajahnya yang pucat pasi mulai terasa panas.

“Memang kejadian seperti ini sering terjadi Nak”, tutur Pak Juhari, “ Kita harus membiasakan diri saja. Tidak perlu takut, karena kita pada dasarnya membantu mereka dengan melarung abu jenazahnya ke laut. Mereka hanya ingin muncul untuk berterima kasih saja.”

Udin hanya manggut manggut kecil, masih tidak mampu menjawab dari lidahnya yang masih kelu, setidaknya ia akan berpikir dua kali lagi sebelum berani menerima tawaran untuk melarung abu jenazah ke laut.

OddieZ
Mojoville, Oktober 2002.

Thursday, July 5, 2007

Another reason for Cremation

That why I choose cremation, and ashes to the sea.
=====
Dihapusnya tetesan air yang mengalir perlahan turun dari sudut matanya. Perasaan sedih bercampur jengkel berkecamuk tak keruan di dalam dadanya.

Malam semakin larut, masih enggan rasanya A-Ying memejam mata, terlintas kejadian seharian tadi yang terus menghantuinya…..

Pagi itu kompleks pemakaman Cina di daerah Singosari, sebelah Utara kota Malang, sangatlah ramai. Bergerombol orang orang di sekitar pemakaman. Mulai dari tukang parkir dan tukang jual minuman di pinggir jalan, orang tua, anak muda dan anak kecil yang berkeliaran di antara makam.

Hari itu adalah Qing Ming alias Cheng Beng, hari tradisi bagi orang Cina untuk mengunjungi makam leluhurnya. Masyarakat sekitar pun telah sangat hafal dengan hari itu, karena mereka juga berharap dapat mengais rejeki. Mulai orang tua sampai anak kecil yang minta minta dibagi uang recehan.

Seperti tahun sebelumnya A-Ying pagi itu juga berangkat dari rumah untuk mengunjungi makam orang tuanya. Diangkatnya keranjang yang cukup besar berisi makanan yang akan digunakan untuk sembahyang nantinya. Sengaja ia menumpang mikrolet dari rumah, karena sudah dipastikan akan kesulitan untuk memarkir sepeda motor bututnya di parkiran makam yang pasti penuh itu.
Sang kekasih A-Yang dengan setia menemaninya berjalan di samping, membawa satu tas berisi lailin, hio serta beberapa perlengkapan lain untuk menyiangi rumput di atas makam.

Seperti tahun lalu pula mereka berangkat dengan hati was was karena keamanan di makam saat Cheng Beng makin lama makin parah. Tak luput dari perkiraan, kali ini juga seperti itu. Mulai dari pintu masuk makam, anak anak kecil berkerubung minta dibagi uang receh. Setelah itu menyusul giliran orang orang tua. Untuk ini mereka telah mempersiapkan recehan logam yang cukup banyak untuk dibagikan.

Dengan susah payah A-Ying berdua melewati kerumunan orang dan sampai di makam orang tuanya, mereka mulai menata makanan untuk sembahyang. Beberapa anak muda yang berambut gondrong mulai mendekat beberapa di antara mereka membawa sabit, dengan memaksa mereka membersihkan makam.

Setelah secara sembarangan mengayun ayunkan sabit dan mencabut beberapa batang rumput, mereka pun minta imbalan. Terpaksa A-Yang pun mengeluarkan lembaran lima ribuan yang terselip di saku belakang jin nya. Tetapi anak anak muda itu malah berteriak teriak marah sambil mengumpat dengan kata kata kotor, “ Lima ribu rupiah, apa kamu kira kami ini pengemis, kami di sini bantu njaga makam tahu ! “. Terpaksa A Yang pun memberikan sisa satu satunya lembaran puluhan ribu yang ada. Begitu pun mereka masi pergi dengan mengomel-ngomel.

Di tengah kesibukan Aying dan A Yang menyiangi rumput dan menyapu kotoran di sekitar makam, segerombolan lain anak muda datang. Kali ini yang datang lebih banyak ada tujuh orang, penampilan mereka juga lebih menyeramkan, tato tengkorak di lengan kanan salah seorang dari mereka. Sama dengan gerombolan sebelumnya mereka pun memaksa untuk membantu membersihkan makam.
Tetapi karena makam sudah hampir selesai dibersihkan, ditambah lagi sudah tidak ada uang di kantong maka A Yang pun menolak dengan halus. Tetapi gerombolan ini tidak mau tahu, mereka malah minta ‘ uang keamanan’ , setelah ditolak mereka pun marah marah. Mendengar suara keras, dua orang Hansip pun mendekat, tetapi bukannya mereka menertibkan malahan mereka minta agar A Ying berdua memberikan uang secukupnya untuk mereka.
Karena benar benar telah habis uang yang dibawa, tentu saja A Ying berdua tidak dapat memberi uang lagi.
Kemudian gerombolan anak muda itu mengamuk, hio hio yang tertancap dicabuti, makanan yang ditata di depan makam dijarah, yang dapat dimakan dimakan, yang tidak disukai ditendang dan diinjak injak. Dengan bantuan dari kedua Hansip, A-Ying berdua dengan susah payah meninggalkan area pemakaman.

Malam makin larut, air mata telah menetes habis.
Kantuk mulai membuai, mengajak A Ying untuk tenggelam dalam tidur……yang jauh lebih damai.


Oddiezz
March 2004

Wednesday, July 4, 2007

haiku

Once I read some haiku.
Got lost in the net, and found a nice one,
juz like describing myself.

"Deep within the stream

the huge fish lie motionless

facing the current."


-Should try to write my own...someday.