Tuesday, July 10, 2007

Penabur Abu Jenazah

Di pesisir pantai Pasir Putih itu tampak serombongan orang, belasan jumlahnya , kebanyakan berpakaian putih dan hitam, tak tampak sedikit pun warna merah di pakaian mereka. Sejak pagi mereka telah tiba di pantai, menjelang siang mereka berdesakan di sebuah perahu penangkap ikan berukuran sedang, menuju ke tengah laut. Jika diamati dari dekat tampak ekspresi kesedihan mereka, ternyata mereka bermaksud untuk menabur abu jenazah.

Belakangan ini di tengah sukarnya mencari lahan pekuburan, semakin banyak orang memilih cara kremasi, kemudian abunya ditabur ke laut. Karena itu semakin sering pula di pantai muncul rombongan seperti pagi ini.

Udin menatap tajam ke perahu hijau yang baru merapat itu. Dilihatnya salah seorang dari rombongan itu memberikan beberapa lembar uang kepada sang tukang perahu. Memang jumlah uang yang didapat cukup besar untuk pekerjaan yang membutuhkan waktu tidak sampai setengah hari itu, sama dengan hasil melaut selama beberapa hari.

Itulah yang menjadikan Udin sangat ingin mencoba mengantarkan rombongan semacam itu ke tengah laut. Tetapi herannya setiap kali ada rombongan penabur abu jenazah yang datang mencari perahu untuk disewa, penduduk sekitar maupun sesama rekan nelayan selalu menyuruh mereka untuk mencari perahu berwarna hijau itu, perahu Pak Juhari.
Pak Juhari sudah mulai menginjak usia senja, sudah tidak lagi terlalu sering melaut jauh ke tengah, kebanyakan membawa turis melihat karang di tepian, malam hari jika melaut juga di tepian saja, mungkin karena kondisi fisik yang sudah tidak mendukung lagi.

Udin berpikir mungkin inilah alasan semua orang memberi kesempatan bagi Pak Juhari untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari melayani para penabur abu jenazah.
Malam hari, Udin mendekati perahu hijau, Pak Juhari sedang membenahi jaring bersiap untuk melaut. Udin sengaja hendak menemui Pak Juhari sebelum mulai mencoba mengantar rombongan abu jenazah, dengan pertimbangan semakin banyak rombongan yang datang ia juga ingin ikut berbagi rejeki, tetapi karena selama ini Pak Juhari yang sering mengantarkan, tidak ada salahnya ia permisi dulu.

Pak Juhari tersenyum tipis ketika Udin mengutarakan maksudnya, manggut manggut, memang kebutuhan hidup Pak Juhari seorang diri tidaklah banyak, tidak menjadi masalah untuk berbagi rejeki dengan anak muda yang berkeluarga beranak dua itu. Udin sangatlah senang mendapatkan ‘ijin’ dari nelayan sepuh itu, periuk nasinya akan mendapatkan sumber rejeki tambahan agar dapat terus mengepul.

Saat Pak Juhari mengajaknya melaut bersama malam itu, dengan senang hati ia pun mengiyakan.
Sudah 4 jam mereka berdua menarik dan melempar jala, heran hati Udin melihat betapa banyaknya hasil ikan malam itu, padahal Pak Juhari hanya mendayung perahu di tepian pantai saja. Sedang Udin yang sehari hari melaut sampai ke tengah laut pun jarang mendapatkan hasil seperti ini. Menjelang tengah malam, mereka pun berhenti sejenak melepas penat, Pak Ju menuangkan kopi panas untuk mereka berdua dari termos yang disiapkan sebelum berangkat tadi.

Udin mengeluarkan sebungkus rokok kretek favorit nelayan setempat, sampai menjadi mithos banyak mencari ikan haruslah merokok merk itu, karena hasil tangkapan pasti akan banyak. Sejenak suasana menjadi hening, hanya terdengar ombak memecah kecil di badan perahu. Pak Juhari berkata lirih, “Memang Nak, setiap siangnya aku mengantarkan orang melarung (menabur abu), pasti malamnya aku akan panen ikan, karena itu malam ini aku melaut, juga mengajakmu karena bisa membantu menjala. Ndak tau, apakah mungkin dibantu roh yang aku bantu tadi.”

Udin terdiam tak tahu mau menjawab apa, karena dia juga merasakan keanehan ini, seketika angin laut menjadi sangat dingin menembus jaket tebal yang dikenakannya, bulu kuduknya meremang. Kembali keduanya dibalut kesunyian, duduk di dekat salah satu ujung kapal, di mana ujung kapal satunya hampir tertumpuk oleh ikan hasil tangkapan mereka tadi. Nyala lampu petromax bergoyang seiring gerakan perahu yang dialun gelombang, wangi tembakau merebak tipis dari ujung rokok mereka berdua, dengan asap tipis yang dengan cepat hilang diterpa angin.

Saat Udin hendak bertanya apakah sudah waktunya untuk pulang dengan tangkapan sebanyak itu, tiba tiba dia melihat sesosok tubuh di ujung perahu satunya, sesosok tubuh wanita seharusnya melihat rambutnya yang panjang sedikit di bawah bahu, berpakaian putih, bermuka pucat, duduk diam tak bersuara memandang mereka berdua. Keringat dingin mengalir di pelipis Udin, bibirnya kering lidahnya kelu tak mampu bergerak ketika ia hendak memanggil Pak Juhari.

Hampir 10 detik ia terdiam kaku saling bertatapan dengan sosok wanita itu, sampai akhirnya Pak Juhari menyadari keanehan sikap Udin dan mengikuti arah tatapan matanya ke ujung perahu satunya.

Dengan suara lirih Pak Juhari berkata,” Terima kasih Non, malam ini memberi rejeki pada bapak, semoga Non bisa tenang di alamnya”. Sehabis perkataan itu, bayangan putih itu pun perlahan kabur dan menghilang.

Udin seakan baru tersadar ketika Pak Ju menuangkan lagi kopi panas ke gelasnya yang hampir kosong itu, hangatnya kopi yang mengalir masuk kerongkongannya seakan membuat darah mulai mengalis di tubuhnya, wajahnya yang pucat pasi mulai terasa panas.

“Memang kejadian seperti ini sering terjadi Nak”, tutur Pak Juhari, “ Kita harus membiasakan diri saja. Tidak perlu takut, karena kita pada dasarnya membantu mereka dengan melarung abu jenazahnya ke laut. Mereka hanya ingin muncul untuk berterima kasih saja.”

Udin hanya manggut manggut kecil, masih tidak mampu menjawab dari lidahnya yang masih kelu, setidaknya ia akan berpikir dua kali lagi sebelum berani menerima tawaran untuk melarung abu jenazah ke laut.

OddieZ
Mojoville, Oktober 2002.

No comments: