Tuesday, July 31, 2007

Genderuwo

Suatu desa kecil di pinggiran kota Lumajang, perbatasan dengan kota Jember, ada sebuah rumah kuno yang berdiri sejak jaman Belanda. Di sana tinggal kakak beradik keturunan Cina. Kedua perempuan ini hidupnya sangat sederhana, berpenghasilan dari keahlian mereka menjahit bagi penduduk desa setempat. Hasil jahitan mereka terkenal
teliti dan halus, terutama bordiran tangan di sarung bantal ataupun sulaman di baju.

Kehidupan mereka yang sederhana, bahkan bisa disebut miskin, seakan menghapus mitos yang selama ini terbentuk bahwa warga keturunan selalu hidup berkecukupan. Ibu mereka adalah generasi ketiga yang lahir di negeri ini, meskipun warga keturunan ibu mereka selalu berkebaya, bersanggul, memang ada sebagian warga keturunan masa itu yang telah beradat Jawa.
Berkain dan kebaya, biasanya dengan kebaya atasan yang tipis menerawang, putih umumnya. Ibu mereka juga terkenal dengan keahlian menjahitnya inilah yang kemudian diwariskan kepada kedua anaknya.

Sang ayah telah meninggal sejak mereka berdua sangat kecil. Karena itu mereka harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi, semasa mereka kecil kehidupan lebih sulit karena hanya ibunya seorang yang menjadi satu satunya yang bisa mencari orang, untunglah hubungan baik terjalin antara mereka dan seluruh penduduk desa, tak sedikit bantuan yang diberikan para tetangga yang merasa kasihan pada mereka, setelah kedua gadis itu bisa menjahit membantu ibunya maka perekonomian mereka pun beranjak membaik.

Rumah besar mereka masih sangat kuno dengan ruangan yang luas dan tinggi, dikelilingi oleh halaman yang luas dengan beberapa pohon mangga dan rumpun bambu di belakang rumah. Menurut penduduk, rumah itu tergolong angker karena banyak ‘penghuni’nya. Sarang Genderuwo, begitu menurut anggapan warga desa. Genderuwo adalah sejenis lelembut yang usil, seringkali menggoda manusia, kebanyakan penampakan sebagai makhluk tinggi besar hitam berbulu lebat bak gorila. Kedua kakak beradik itu tidak menyangkalnya, tetapi karena sejak lahir mereka tinggal di sana seakan terbiasa menghadapi hal hal yang demikian. Orang lain yang tidak kuat mentalnya pasti akan berpikir dua kali untuk tinggal di sana.

Suatu waktu ada seorang sepupu perempuan mereka yang datang berkunjung dari kota , karena kemalaman dia pun menginap. Waktu malam karena hendak buang air kecil ia pun ke WC. Seperti rumah tua pada umumnya, WC dibangun terpisah dengan bangunan induk, untuk menuju bangunan kecil yang digunakan sebagai WC haruslah melewati pekarangan rumah belakang.
Malam itu sang sepupu terpaksa memberanikan diri, setengah berlari menuju ke WC yang diterangi dengan lampu 10 watt yang berayun diterpa hembusan angin. Tengah jongkok menunaikan hajat, dilihatnya sesuatu benda kecil melintas cepat di sela daun pintu dengan lantai, pasti tikus…ia pun bersiap siap untuk berdiri dan berlari karena dia jijik terhadap jenis hewan pengerat itu.
Benda itu melintas lagi…berlari lari di depannya beberapa kali, tiba tiba berhenti di depannya, dipicingkan matanya untuk melihat jelas benda itu di bawah temaram lampu, astaga ternyata potongan tangan seorang bayi, terdiri dari pergelangan dan telapak tangan. Terbirit birit ia berlari menuju ke bangunan induk dengan teriakan yang membangunkan seisi rumah.

Kamar mandi mereka masih menggunakan bak besar, yang diisi dengan air yang ditimba dari sumur. Seringkali tengah malam terdengar orang yang sedang mandi, padahal kedua kakak beradik itu telah tertidur pulas. Keesokan harinya terlihat lantai kamar mandi dengan bak mandi yang kosong, padahal sore sebelumnya telah terisi penuh.

Pernah juga suatu malam sang adik pulang dari kondangan di desa sebelah, pada saat malam hari lewat pekarangan depan rumah, tepat di bawah pohon mangga yang besar, seakan air jatuh dari langit hujan lebat, sesaat saja dan hanya di atas kepalanya. Setelah tercium bau pesing , barulah dia sadar kalau itu adalah air kencing, seakan ada makhluk yang besar mengencinginya dari atas pohon.

Tetapi ada juga pengalaman yang sudah terjadi cukup lama, yaitu saat listrik belum masuk desa. Untuk mengejar orderan yang cukup banyak, sang kakak menjahit sampai larut malam di bawah penerangan lampu Petromax, tiba tiba dari belakang tercium bau rokok kretek, kemudian tanpa ada angin yang berhembus, nyala lampu tiba tiba meredup sampai hampir padam, kemudian menyala lagi terang, semikian terjadi beberapa kali. Sadar bahwa ada lelembut yang sedang ‘mengerjai’ dirinya, maka sang kakak berucap seakan berkata kepada seseorang di dekatnya dengan bahasa Jawa ” Wong podho golek penguripan dhewe dhewe mbok ojo saling ganggu ono” (artinya Kita khan mencari penghidupan masing masing, alangkah baiknya tidak salig mengganggu). Tak lama kemudian gangguan itu berhenti, bau rokok tak tercium lagi, di kejauhan di atas rumpun bambu yang tinggi tampak satu titik merah menyala, seakan ada seseorang menghisap rokok di sana.

Tetapi bagaimana pun mereka masih sangat takut untuk berhadapan langsung dengan makhluk halus itu. Suatu sore menjelang Maghrib, kala sang kakak sedang mandi, sang adik telah bersantai duduk di depan teras rumah dengan dua gelas ’teh- hangat di sampingnya dan sepiring pisang goreng mengepul harum. Saat akan diambil potongan kedua pisang goreng, tiba tiba dilihatnya ada tangan hitam berbulu besar berkuku hitam panjang ikut mengambil pisang goreng di atas piring. Sang adik tak berani menoleh ke sebelah menatap wajah makhluk itu, dia hanya melirik ke bawah, terlihat dua kaki besar berbulu hitam lebat, mirip sekali gorila.Dalam kediaman kedua makhluk itu makan pisang goreng. Sampai tersisa dua potong terakhir pisang di atas piring, sang adik pun berkata “Kari loro yo, kon sithok aku sithok” ( Tinggal dua yah, kamu sepotong aku sepotong).
Setelah itu diraihnya satu potong pisang, dikumpulkan segenap tenaga untuk berdiri di atas kedua kakinya yang lemas itu dan berlari sekuat tenaga masuk rumah dan membanting serta mengunci pintu.
Ini adalah pertemuan terdekat antar mereka dengan para genderuwo, Closest Encounter – seperti disebut Agent Scully dalam serial TV- The X-files.

Kisah ini diceritakan oleh seorang teman yang masih saudara jauh dari empunya rumah, jika ada yang tidak percaya ia bersedia menunjukkan lokasi yang dimaksud, tentunya dengan resiko ditanggung sendiri……

Mojoville, October 2002

No comments: