Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Thursday, January 20, 2011

Kolam Renang 4

Kolam renang (satu)

Kamis sore itu, menjelang maghrib, satu persatu orang mulai meninggalkan kolam renang ini. Bagi diriku yang baru saja masuk dan mulai berenang, ini sangat menyenangkan, karena sungguh menyebalkan jika waktu berenang harus sebentar-bentar berhenti untuk menghindari perenang lain yang lalu lalang.

Langit menggelap, awan mendung menggantung tidak lagi nampak. Beberapa lampu di dalam kolam sudah dinyalakan, tetapi hanya satu lampu yang dinyalakan di baris seberang, penghematan listrik, apalagi setelah kulihat tinggal daku dan seorang perenang lain yang masih bertahan. Waktu dia mendekat, keliatan seorang wanita tua yang kemudian tersenyum, dan menggangguk sopan menyapaku.

Setelah melakukan beberapa lap, terasa perut ini telah protes keras minta diisi. Sementara sang ibu masih dengan giat berenang, wah staminanya jauh lebih baik dariku nih..

Dengan ‘lemas tapi puas’, ku beranjak pulang setelah bershower air panas nan nikmat..

“ Pak, mari, pulang dulu, “ sapaku ke abang penjaga kolam.

“Iya pak, ayuk sekalian..saya juga mau pulang,” jawabnya.

“ Lho, ga menunggu ibu ibu tadi itu ?” tanyaku.

“ Ibu ibu siapa pak?jangan bergurau, khan tinggal bapak sendirian yang berenang sejak sejam yang lalu “.

Ku lirik kolam gelap yang memang sunyi senyap itu….tak terasa bulu kudukku meremang dingin…

******************************************************************************************

Kolam renang (dua)

Kamis sore itu, menjelang maghrib, satu persatu orang mulai meninggalkan kolam renang ini. Bagi diriku yang baru saja masuk dan mulai berenang, ini sangat menyenangkan, karena sungguh menyebalkan jika waktu berenang harus sebentar-bentar berhenti untuk menghindari perenang lain yang lalu lalang.

Langit menggelap, awan mendung menggantung tidak lagi nampak. Beberapa lampu di dalam kolam sudah dinyalakan, tetapi hanya satu lampu yang dinyalakan di baris seberang, penghematan listrik, apalagi setelah kulihat tinggal daku dan seorang perenang lain yang masih bertahan. Waktu dia mendekat, keliatan seorang wanita tua yang kemudian tersenyum, dan menggangguk sopan menyapaku.

Setelah melakukan beberapa lap, terasa perut ini telah protes keras minta diisi. Sementara sang ibu sudah beberapa saat lalu beranjak meninggalkan kolam.

Dengan ‘lemas tapi puas’, ku beranjak pulang setelah bershower air panas nan nikmat.

“ Pak, mari, pulang dulu, “ sapaku ke bapak tua penjaga kolam.

“ Mari nak,” jawabnya tersenyum menampakkan giginya yang kuning coklat terkena nikotin.

Sesampainya di pintu keluar, seorang satpam muda menyapaku,” Pulang pak ?”

“Iya, mari..”

“Saya juga mau ngunci pintu nih Pak “, sahutnya.

“ Lho, kok dikunci dari luar? Nanti bapak satunya gimana keluarnya?” tanyaku teringat pak tua yang masih berada di pinggir kolam tadi.

“Ah, yang jaga kolam khan saya aja sendirian pak, baru mulai kerja 3 hari yang lalu, nggantiin penjaga yang meninggal pak.”

Dan bulu kudukku meremang ….

******************************************************************************************

Kolam renang (tiga)

Kamis sore itu, menjelang maghrib, satu persatu orang mulai meninggalkan kolam renang ini. Bagi diriku yang baru saja masuk dan mulai berenang, ini sangat menyenangkan, karena sungguh menyebalkan jika waktu berenang harus sebentar-bentar berhenti untuk menghindari perenang lain yang lalu lalang.

Langit menggelap, awan mendung menggantung tidak lagi nampak. Beberapa lampu di dalam kolam sudah dinyalakan, tetapi hanya satu lampu yang dinyalakan di baris seberang, penghematan listrik, apalagi setelah kulihat tinggal daku dan seorang perenang lain yang masih bertahan. Waktu dia mendekat, keliatan seorang wanita tua yang kemudian tersenyum, dan menggangguk sopan menyapaku.

Setelah melakukan beberapa lap, terasa perut ini telah protes keras minta diisi. Sementara sang ibu sudah beberapa saat lalu beranjak meninggalkan kolam.

Wah, sekarang kolam benar-benar jadi milik pribadiku, meski bukan kolam sendiri, tapi tanpa orang laen, serasa milik sendiri, hmm berkhayal dah.

Baru 2 lap, tiba tiba segerombolan anak kecil berlompatan masuk.

Keki dah, belum lama menikmati kolam, sudah ada yang mengganggu, malam malam lagi, kok baru mulai nge-les anak anak ini. Kulihat kiri kanan mencari di mana si pelatih sialan itu, tapi tak tampak jelas, karena kacamata renang minusku kurang jelas untuk melihat, apalagi waktu malam.

Lima menit, kemudian daku menyerah, biarlah kolam menjadi ‘milik pribadi’ anak-anak itu.

“ Pak, mari, pulang dulu, “ sapaku ke abang penjaga kolam.

“Mari pak, masih pagi kok sudah pulang pak,” jawabnya.

“Iyah pak, malas kalo rame gini”

“Rame ?” tatapnya bingung,” Dari tadi khan cuman bapak sendirian aja yang berenang.”

Kutoleh kolam renang..sunyi senyap, tak tampak seorang anak pun..bulu kudukku meremang…

******************************************************************************************

Kolam renang (empat)

Kamis sore itu, menjelang maghrib, satu persatu orang mulai meninggalkan kolam renang ini. Bagi diriku yang baru saja masuk dan mulai berenang, ini sangat menyenangkan, karena sungguh menyebalkan jika waktu berenang harus sebentar-bentar berhenti untuk menghindari perenang lain yang lalu lalang.

Langit menggelap, awan mendung menggantung tidak lagi nampak. Beberapa lampu di dalam kolam sudah dinyalakan, tetapi hanya satu lampu yang dinyalakan di baris seberang, penghematan listrik, apalagi setelah kulihat tinggal daku dan seorang perenang lain yang masih bertahan. Waktu dia mendekat, keliatan seorang wanita tua yang kemudian tersenyum, dan menggangguk sopan menyapaku.

Setelah melakukan beberapa lap, terasa perut ini telah protes keras minta diisi. Sementara sang ibu sudah beberapa saat lalu beranjak meninggalkan kolam.

Dengan ‘lemas tapi puas’, ku beranjak pulang setelah bershower air panas nan nikmat.

“ Mas, mari, pulang dulu, “ sapaku ke anak muda penjaga kolam.

Heran dia seperti tidak mendengarku..

Tiba tiba….”AAAAAAAhhhhhhh,” terdengar teriakan ibu tua itu.

Sedetik kemudian, saat aku masih terbengong, si penjaga kolam sudah berlari dan terjun ke dalam kolam, membalik tubuh yang membuat si ibu berteriak tadi.

Kuikut mendekat…melihat tubuh yang mulai kaku itu dibalikkan…tubuhku sendiri…

dan..bulu kudukku tidak meremang…

Oddiezz , SharkCrocs City

Jan 2011

Tuesday, December 2, 2008

Kisah tentang Miss

Tata bahasa ok..

Vocabulary cukup..

Imaginasi ok..

and most important..creativity..

not bad for an 8 years old...not bad...




Wednesday, November 19, 2008

Musim ancaman Bom

Menggerutu Edward mencampakkan rokok yang hampir habis dihisapnya.

Senin pagi bukanlah waktu favoritnya, tetapi telepon dari Detasemen 88 Jakarta harus langsung ditanggapi.

Masalah yang lagi ngetrend, ancaman bom di plaza, terlalu mudah mengirimkan SMS, ataupun telepon langsung ke tempat target.

Tetapi baru kali ini ia mendapat perintah langsung untuk mencari pengirim terror, ancaman dikirim 30 menit yang lalu, ke Plaza Semanggi, Jakarta.
Dan Edward sudah di atas sebuah sepeda motor butut menuju ke lokasi handphone sang pelaku yang dilacak posisinya, dan itu adalah…di desa..di pinggiran Kepanjen, Malang, Jawa Timur.

Berbagai macam analisa bermunculan di benak Edward, dari profile pengirim teror yang sudah tertangkap, mungkin ini juga berasal dari seorang pelajar di desa yang iseng mengirimkan SMS, ke nomor telepon plaza di Jakarta yang mungkin didapatnya di internet. Dan saat ini sang pengirim sedang tertawa terkekeh-kekeh di depan TV mengamati orang-orang berhamburan keluar dievakuasi dari plaza itu.
Manggut-manggut Edward seakan membenarkan analisanya sendiri, hanyalah orang iseng yang tidak profesional yang cukup bodoh untuk terus menghidupkan handphonenya dengan menggunakan nomor yang sama. Dengan teknologi tracking yang ada, dalam hitungan menit koordinat HP langsung bisa dideteksi.
Pekerjaan memburu pemegang HP di desa Kepanjen tentulah paling cepat dilakukan olehnya, intel polisi yang daerah tugasnya di Kepanjen.

Blink..blink…cahaya kehijauan berpendar di layar LCD alat tracking yang digenggamnya.
Semakin…jalanan desa semakin sepi, menjauh dari pemukiman warga.
Ladang jagung dan tebu nampak di kanan kiri, mendekati hutan yang belum terjamah, sempat pusing juga si Edward, jika benar sasarannya ada di dalam hutan, pengejaran ini tak bakal berakhir dengan mudah. Dia harus kembali ke desa untuk mempersiapkan semua perbekalan yang bakal diperlukan.

Blink..blink…300 meter di depan, mengendap-endap Eddy ( banyak orang desa yang kesulitan membaca nama Edward, karena itu lebih akrab ia lebih dikenal dengan Eddy ) mengintip dari balik pepohonan di mana sepeda motornya telah diparkir tersembunyi.

Di tengah pematang sawah yang baru dipanen tampak sebuah gubuk tempat istirahat, dengan dinding anyaman bambu yang berdiri separuh, persis seperti yang ada di cerita-cerita klasik, di mana bu tani setiap membawa makan siang di dalam bakul, untuk diberikan kepada suaminya yang bekerja di sawah.

Tapi tak seorang pun nampak pagi itu di ladang.
Cericip burung kepodang sesekali bersahutan di atas pohon
Tak ada segerombolan pelajar iseng yang sedang berkumpul, tak ada seorangpun yang terlihat.
Mengendap maju, dicabutnya pistol yang tersarung di pinggang.
Mungkin juga ada sang empunya HP sedang tiduran di dalam gubuk dibuai semilir angin pagi yang segar.

Keringat sebesar jagung bermunculan di dahi.
Dikeraskan pegangan tangan pada pistol yang sedikit gemetar, jari telunjuk telah siap menekan pelatuk.

Selama ini preman, pencuri, perampok, berbagai orang telah pernah dihadapi Eddy.
Tetapi kali ini lain, kali ini teroris, seorang pelajar iseng ataukah seorang lulusan training militer di Afganistan, sungguh perbedaan yang sangat besar. Dia harus mempersiapkan diri untuk yang terburuk, karena nyawa taruhannya.

Pintu gubuk hanya satu meter lagi, dihirupkan udara panjang dan dia melompat ke depan pintu dengan pistol teracung ke depan..

Kosong, tidak ada satu makhluk pun di dalam.
Sejenak terpaku, matanya berkelebat melihat isi gubuk.
Tikar usang yang menjadi alas. Topi bambu yang tersandar miring di pojok lantai. Kendi tanah liat yang coklat menghitam, satu gelas yang berisi air separuh.
Sebuah ransel hijau yang tergantung di ujung tiang gubuk.

Seluruh panca indera Eddy bergetar penuh waspada, dari pengalamannya menjadi intel selama bertahun-tahun sesuatu menyuruhnya cepat pergi, dengan cepat dia mundur dua langkah, dan berancang- ancang untuk berlari.

Dan pada saat itu terdengarnya suara dering handphone dari dalam ransel hijau yang tergantung di tiang gubuk.

“Keparat ! Habislah aku,” pikir Edward bin eddy. Ancang-ancang untuk berlari pun tidak diteruskan, melompatlah ia ke permukaan sawah yang mengering dengan sisa sisa panenan padi…

Blar…..Gubuk itu lenyap, sisa sisa bangunan menyala ditelan api. Asap hitam tebal membumbung tinggi.
Suara ledakan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang bekerja di ladang sekitar berlarian datang, untuk kemudian menemukan Eddy yang tengkurap pingsan berdarah, dengan luka bakar serta luka di punggung tertancap serpihan bambu, kayu serta entah apalagi.
Setidaknya masih ada hela napas lemah di tubuh itu.

Di kejauhan sesosok hitam beranjak menjauh, sambil memasukkan sebuah handphone ke dalam saku celana.


Oddiezz, November 2008.

Wednesday, May 7, 2008

HP merah

Ha pe merah itu akhirnya menjadi miliknya.

Telah tiga bulan lebih, Andy mengincar ha pe mungil berwarna merah yang terpajang di toko kecil penjual ha pe second itu.

Andy dengan rajin menyimpan gaji mingguannya sebagai pembantu tukang masak di warung masakan Chinesse Halal. Yah Chinesse, tulisan itulah yang terpampang di kain selebaran yang menutupi sekeliling warung itu, tetapi tidak pernah ada orang yang protes, sepertinya semua mengerti itu artinya masakan Cina…Chinese food, hmm sungguh suatu ejaan yang mencerminkan kualitas makanannya. Rokok A Mild hijau kegemarannya sudah lama tidak terlihat tergantung di ujung bibir kiri yang agak menghitam ternoda nikotin.

Gadis manis berlesung pipit penjaga toko itu hanya tersenyum melihatnya hampir setiap hari lewat hanya sekedar lewat untuk melirik ha pe merah itu. Di kala toko sedang sepi, sang gadis dengan senang hati mempersilahkan Andi menimang-nimang dan membelainya..hape itu bukan sang gadis..

Tak dinyana siang itu tukang becak tetangga sebelah mengembalikan sejumlah hutang, yang selama ini dianggap Andi sebagai amal karena tidak pernah dikembalikan. “Dapet nomer nDi,” katanya. Terima Kasih nomer buntut..atau apapun itu, sebelum berangkat kerja malam itu, ha pe merah sudah terselip manis di kantong belakang celana jins bututnya dengan bonus nomor hp si gadis manis penjaga toko.

Sungguh ramai warung malam itu, malam minggu, seakan semua orang-orang tidak ada yang memasak di rumah lagi. Mungkin dengan minyak tanah yang mahal dan elpiji yang menghilang di pasaran, telur ayam yang melangit harganya, lebih murah rasanya makan di warung.
Diseretnya badannya yang luar biasa capek pulang, setengah jam jalan kaki di tengah malam yang sejuk, hmm cukup nyaman seandainya badannya tidak secapek ini.
Hp merah itu dipencet-pencetnya sebagai teman berjalan. Satu nomor telepon di phone book.

Karti, sang gadis lesung pipit penjaga toko. Larut malam begini bukanlah waktu yang tepat untuk menelepon gadis yang sudah dengan senang hati memberikan nomer hp padanya.
Aih.. mengapa ada nama lain, Cindy, dengan dua nomor telepon, nomor seluler dan nomer rumah. Mungkinkah ini nama yang
tersisa dari phone book lama yang terekam dalam hp merah ini ?
Jika demikian, mungkin ada foto juga yang masih belum terhapus dalam hp ini. Benar, Cindy001, Cindy002,Cindy003, wow wow….cewe ini jauh lebih cantik dari sang lesung pipit. Sedikit berdarah campuran, mirip Aisyah dalam Ayat-ayat Cinta, setidaknya begitulah mata capek setengah mengantuknya berkata.
Hampir tidak sadar ketika dipencetnya tombol call untuk menelepon Cindy.

Jam 2 malam, ingat Andi saat dia selesai menelepon dan langsung jatuh tertidur di ranjang.
Cindy ternyata teman dekat bekas pemilik hp merah itu. Sungguh seorang gadis yang ramah, penuh selera humor dan berpendidikan, begitu setidaknya terdengar lewat pembicaraan semalam.
Jam 2 siang, Andi bergegas menuju rumah Cindy, sesuai janji mereka untuk bertemu.

Sepasang suami istri tua dengan sopan mempersilahkannya duduk.
Hanya saja, lima menit kemudian Andi terduduk lemas tak bertenaga,
saat mereka menjelaskan bahwa Cindy telah meninggal dua bulan yang lalu.

Rekaman dalam Hp bisa bertahan lama.
Berapa orang kah dalam list phone book mu atau yang terfoto, mungkin sudah tak ada lagi menghirup napas di dunia ini ?
ever cross your mind ?

Oddiezz,
Serpong, May 5, 2008

Wednesday, January 23, 2008

Elle

Lelaki muda itu mengangguk sopan saat Fiona mempersilahkannya masuk ke dalam apartemennya. Hujan yang mulai turun rintik-rintik cukup membuatnya bajunya basah, meskipun hanya lima menit berjalan kaki dari perhentian MRT terdekat.
Namanya Michael, senyumnya lebih damai menentramkan dibandingkan pertemuan terakhir kami setahun lalu.
Ketika Fiona meneleponku, langsung saja kutahu Michael pasti bisa membantu.

Sebenarnya aku mengenal Elle lebih dulu daripada Fiona. Sebagai sesama perantau di negeri orang, secara kebetulan aku berkenalan dengan Elle di negeri kecil ini. Fiona adalah saudara sepupu Elle yang baru tinggal sebulan di apartmentnya yang mungil tapi rapi ini.

Tetapi Fiona lah yang meneleponku pagi ini dengan penuh kebingungan. Elle yang biasanya periang dan banyak bicara, tiba tiba marah-marah tidak keruan, sumpah serapah tidak senonoh yang tidak mungkin dilontarkannya.

Untung hari itu hari Minggu, setengah jam kemudian aku pun bisa tiba di tempat mereka. Setelah melihat keadaan Elle yang tidak mau makan,minum atau mandi, serta tak henti-hentinya memaki-maki. Aku sadar bahwa ini bukan karena stress biasa, pasti ‘sesuatu’ telah menempelnya begitu instingku mengatakan. Karena belum yakin aku bisa melakukannya sendiri, tanpa alat tanpa bantuan bahan apapun, maka langsung aku teringat akan nama seseorang yang bisa membantu. Michael.

Michael, salah satu mentor ku di sini, cukup dikenal di kalangan anak2 Indo di sini jika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dimengerti secara logika, kadangkala setelah pengobatan dokter gagal.

Jauh dari bayangan orang tentang ahli supranatural, Michael berumur tiga puluhan, berambut rapi, biasanya memakai t-shirt berwarna hitam digabung dengan jeans, di saat tidak sedang bekerja, tampil laiknya sebagai seorang pemuda biasa. Tetapi tutur katanya yang lembut tapi tegas, ditambah sorot matanya yang teduh tapi tajam hingga jarang orang bisa menatapnya lama lama, jelas menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan.

Memang sejak berada di ruang tidur Elle, aku merasakan atmosfir yang lain, yang membuat orang merasa tertekan dan kepingin marah. Sesekali semilir udara busuk menyeruak membuat perut ini mual. Dulu Michael mengatakan itu semacam zat fosfor yang kebanyakan dikeluarkan oleh makhluk halus tertentu.

Begitu sampai ambang pintu kamar tidur, Michael mengeluarkan sebungkus garam yang sepertinya baru dibeli di supermarket dalam perjalanan ke sini.
Sebaris garam di ambang pintu untuk mencegah makhluk laen datang membantu temannya. Cara itu pernah dijelaskan olehnya padaku sebelum melakukan exorcist, “Mengapa?”, tanyaku saat itu. “Dari pengalaman.” katanya sambil tersenyum misterius.

Michael memang menggunakan bahan-bahan yang alami dan mudah didapat di negeri ini. Memang bisa menggunakan kemenyan putih untuk fungsi serupa, tetapi sangat sukar untuk membelinya di sini.

Segelas air putih yang dituang ke dalam gelas pun dicampur dengan sejumput garam. Rosario yang sedari tadi digenggam oleh Fiona, dipinjamnya untuk kemudian dicelupkan ke dalam gelas itu.

Michael lalu menutup kedua matanya dan mengoleskan sedikit air garam itu ke kelopak matanya. Aku pun melakukan hal serupa, karena ingin melihat dengan jelas apa sebenarnya yang kami hadapi kali ini.

Bayangan wajah seorang wanita muda terlihat membayang di muka Elle, cukup cantik, jika saja tidak terlihat separuh wajahnya yang hancur berdarah seperti tergesek aspal jalanan.

Ternyata roh penasaran , korban kecelakaan bulan lalu di ujung jalan apartment ini. Begitu sang roh mengaku ketika kamu tanya, hanya dengan saling memandang. Terus mengikuti Elle sampai berhasil merasukinya saat tubuh Elle sedang kecapaian.
Sementara Fiona masih berdiri bengong di luar pintu kamar memandangi Elle yang duduk bersandar di ranjang, terus melotot dan mengeluarkan suara desisan.

Setelah beberapa kali Michael minta dengan halus supaya roh wanita itu keluar dari tubuh Elle, tetapi tidak digubris. Maka Michael pun mengangguk kecil ke arahku.
Dia mendekat hendak mengalungkan rosario yang sudah basah tercelup air garam ke leher Elle.
Kedua tangan Elle secara kaku bergerak ke atas mencengkeram kedua lengan Michael dengan keras, menahannya agar rosario itu tidak mendekat ke badannya.
Berhasil, roh dalam tubuh Elle tidak lagi memperhatikanku, dengan gerak cepat kumendekat memegang kaki kiri Elle, menempelkan dua butir merica putih tepat di bawah ibu jari kaki kiri, kubaca beberapa mantra pengusir setan.

Elle melenguh keras, menggeliat dan melenguh lagi, persis suara sapi yang digorok, matanya mendelik merah dan marah.
Cengkeraman di lengan Michael tak lama kemudian mengendur dan lepas.
Sesaat kemudian seluruh tubuhnya lunglai, tidak ada lagi roh wanita muda, hanya tinggal Elle sendiri, matanya menutup kecapaian.
Rosario kali ini bisa dikalungkan ke leher Elle, yang mulai bernapas dengan tenang.
Kupegang kaki kanan Elle, untuk menutup lubang tempat keluarnya roh itu menempel lagi butiran merica putih di bawah ibu jari kanannya.

Roh itu telah pergi lewat jendela ruang tidur, karena pintu telah kami ‘segel’ dari semula.
Sisa garam yang ada disebar ke seluruh pintu dan jendela yang ada di apartment itu.

“Bukan bahan yang penting,” kata Michael padaku sambil tersenyum,”Tidak perlu kemenyan putih atau akar beringin, cukup sejumput garam atau segelas air. Yang penting makna dan mantra. Lain kali kau sudah pasti bisa tangani sendiri hal seperti ini.”

Benarkah, sudah siapkah aku?

Mojoville, 23 January 2008
OddieZ

Tuesday, January 8, 2008

Vodka

Malam yang lembab.
Hujan yang turun gerimis dari siang tadi seakan tak mampu mengusir hawa panas yang bergantung.
John melirik gelas yang berisi vodka separuh penuh…. atau separuh kosong, hmm peduli amat yang pasti begitu habis pasti diisi lagi sampai penuh dengan menambah beberapa potong es batu.
Sambil berpikir, tak terasa tangan kirinya sudah menyambar gelas yang dihabiskan dengan satu tegukan besar.

Keringat sebiji butir jagung tak hentinya menetes, meski semilir angin masuk dari jendela apartment lantai 15 ini.

Huruf-huruf di halaman novel yang sedang dibaca John mulai kabur.
Diseret kakinya yang berat ini ke arah kulkas, untuk kesekian kalinya mengisi gelasyang kembali kosong.

Jam dinding terdengar berdetak jelas di apartment yang kosong, sejenak ia berhenti mendengar suara desis lemah di luar jendela.

hmm….dengan mata setengah terpejam ( atau setengah terbuka ) ia teruskan ritual pemenuhan gelas, 2 potong es batu di dasar gelas, siap menunggu vodka utk dituangkan.
Sekotak besar orange juice yang berdiri penuh di tengah kulkas tidak dihiraukannya.

It’s time for the real stuff…. bukan waktunya untuk sejenis campuran cocktail yang menghibur selera.

Suara desisan semakin terdengar di ruang yang sepi.

“Tidak mungkin ..tidak mungkin benda itu mengikutiku,” pikir John.

Sudah seminggu ini ia pindah dari apartment lantai 15 ini, apartment lantai 2 yang beberapa tahun cukup nyaman disemayaminya terpaksa dilego dengan harga murah, setelah tak hentinya dia mengalami kejadian aneh yang muncul setelah seorang wanita muda bunuh diri, tewas tepat di bawah jendela kamar tidurnya.

Ada beberapa orang yang mempunyai ‘bakat’ untuk melihat roh roh halus. Dihitung dari tanggal dan waktu lahir, kepercayaan Cina menghitung apa yang disebut ‘ Ba Zi’, semakin rendah angka itu semakin gampang orang bisa melihat makhluk di alam yang lebih rendah.

Tetapi John bukanlah orang seperti itu.
Saat hantu wanita muda itu tak henti menampakkan diri padanya, seorang suhu membantu menghitung Ba Zi nya, yang ternyata cukup berat, tidak gampang untuk melihat para setan gentayangan. Meski pada akhirnya tak seorang pun bisa membantunya mengusir hantu wanita yang terlalu penasaran matinya itu.

Suara desisan itu makin keras…

“Tidak !”, gumam John,”Tidak sama suara itu dengan jeritan melengking hantu penasaran wanita muda di apartment lamaku.”

Tapi bayangan putih di balik jendela itu semakin jelas, seakan melayang mendekat.
Bunyi desisan bertambah jelas dengan bunyi geraman…

Ya geraman, seakan seseorang yang berusaha keras mengatakan sesuatu,
tetapi tidak bisa, tidak bisa karena lehernya telah patah

….sssh….s…sh..ee…eeeK.

John duduk kaku di sofa, tak kuasa bergerak, melihat bayangan putih menembus dari balik jendela tepat ke arahnya…
Mata John terbelalak besar, mulutnya menganga lebar meneriakkan teriakan ketakutan yang bisu.

Bau khas, bau kematian yang sering kau jumpai di rumah mayat atau rumah persemayaman jenazah, walaupun mayat-mayat di sana telah sedapat mungkin diawetkan, menghambur memenuhi kamar tamu di apartment yang seharusnya berventilasi bagus itu.

Gelap seketika pandangan John, ketika wajah putih kering dari bayangan dengan leher bengkok itu mendekat hampir menyentuh mukanya.

Ia pingsan dengan suksesnya.

Tanpa mengetahui bahwa di ruang tamu itu sebulan yang lalu seorang eksekutif muda mati gantung diri setelah kalah bermain valas, dan baru ditemukan setelah membusuk lima hari kemudian.

Mungkin suatu ketika John akan mengetahui, bahwa untuk dapat melihat makhluk halus, orang yang meskipun mempunyai Ba Zi yang tinggi bisa berpuasa,bermeditasi, berlatih untuk mendapatkan kemampuan melihat mereka di alam lain.

Sedangkan sebagian dari mereka dengan mudah melihat ‘mereka’ setelah setengah mabuk…. …setelah beberapa gelas vodka.




Mojoville, January 2008.
Oddiez…Absolute Peach, Absolute Pears with orange juice.

Thursday, August 30, 2007

Makan Pagi

Senyum si waiter yang lebar itu menyambutku di pagi yang dingin itu.
Seperti biasa beberapa macam makanan pagi telah tersedia di meja buffet, scrambled egg, mashed potato, gorengan bacon, serta berbagai macam roti yang tidak semua aku kenal jenisnya, menunggu para tamu untuk mengambilnya sendiri.

Setelah mengangguk menyapa si waiter, sambil sekedar menanggapi basa basinya, how do you sleep last night, fine, a little bit cold….big diffferent from your country right? etc etc bla bla bla ….
Akhirnya aku bisa duduk dengan tenang di meja pojok sambil terkantuk kantuk menikmati secangkir kopi kental, with milk but just one block of sugar.
Sejenak kerinduan yang sangat muncul untuk menikmati kopi tubruk, yang jauh lebih wangi dari kopi para bule ini.

Sudah seminggu ini kami bersepuluh tinggal di Holiday Inn ini. Tapi lain dengan Holiday Inn berbintang lima yang ada di tanah air, di sini Holiday Inn merupakan hotel biasa, lebih mendekati losmen, hampir bisa ditemui di semua tempat.
Menyediakan penginapan dengan tarif yang cukup memadai untuk para pelancong yang kebetulan lewat dan membutuhkan tempat menginap melewatkan malam. Tentu saja

Hari hari pertama memang masih menyenangkan karena semua hal hal baru yang kami temui di sini. Setelah seharian mengikuti seminar, sore harinya jika mendapat pinjaman mobil, kami bisa berkeliling di toko toko terdekat, atau dinner di berbagai restoran kecil di downtown. Tetapi setelah seminggu lewat, antusiasme para tuan rumah sudah jauh menurun, mobil pun sukar untuk dapat dipinjam, membuat kita sepanjang sore setelah seminar selesai hanya terkurung di dalam losmen kecil ini.

Masa training yang masih cukup panjang membuat beberapa teman mulai mengomel. Beberapa teman mengeluhkan menu di restoran hotel yang tidak lebih dari 20 macam itu terlalu monoton, bagi perut Indonesia yang tidak kenyang jika tidak dimasuki nasi, pilihan ‘with rice’ pun lebih menyempit menjadi 4 pilihan saja. Itu pun bukan beras pulen, putih, wangi nan kenyal seperti yang biasa kita makan di rumah, melainkan Cajun rice, sejenis beras yang lebih panjang, lebih kuning, jika ditanak menjadi nasi akan lebih keras, apalagi dengan cara memasak mereka seakan setengah matang, membuat salah seorang teman berkomentar dirinya adalah seorang penari kuda kepang yang sedang makan beras mentah.

Pagi itu suasana di restoran masih sangat lenggang, wangi roti yang baru dipanggang semerbak memenuhi ruangan bercampur dengan gurihnya bau bacon yang sebagian masih terdengar mendesis panas di dalam nampan di ujung menja buffet. Teman teman masih belum ada yang nampak ujung hidungnya, mungkin mereka masih bergulung nyaman di dalam selimut di pagi yang cukup dingin ini. Mungkin diriku yang tidak enak tidur semalaman, terbangun sangat pagi dan tidak dapat lagi memejamkan mata, memutuskan untuk turun dulu ke ruang restaurant. Para waiter sudah tidak nampak batang hidungnya, mungkin semua sedang masuk di dalam kitchen area, menyiapkan hidangan breakfast yang masih belum siap.

Aku terkantuk kantuk sambil menghangatkan tangan di gelas kopi yang hangat itu. Lampu penerangan telah dipadamkan, sementara sang matahari masih enggan menyembulkan diri sepenuhnya, membuat ruang itu tampak remang remang.
Denting sendok dan garpu terdengar samar dari dalam ruang dapur. Selain itu semuanya senyap.
Kaca yang besar yang tebal yang menahan dinginnya udara luar juga membuat semua kicau burung tidak lagi terdengar dari dalam.

Saat itulah aku tiba tiba melihat sosok hitam yang duduk di meja pojok berseberangan dariku. Seorang tua berkulit hitam yang berpakaian butut, mereka di sini disebut homeless people, alias para gelandangan.
Aku telah melihat beberapa gelandangan di LA minggu lalu saat transit dan menginap di sana.
Lain dengan para gelandangan di sini yang berpakaian compang camping dan robek, kebanyakan dari mereka meski mengenakan pakaian bekas tetapi tidaklah sekumuh gelandangan di tanah air.
Tetapi banyak di antara yang menggenggam kantong kertas berwarna coklat yang dalamnya berisi botol minuman keras, sungguh mengenaskan bahwa mereka lebih suka menghabiskan uang yang didapatnya untuk minum daripada membeli makanan.

Terheran heran aku mengamati sang orang tua di ujung meja, bagaimana dia bisa masuk ke dalam ruang resto di hotel ini.
Petugas sekuriti di pintu depan pasti tidak mengijinkannya masuk.
Tetapi dia telah duduk di sana, matanya menatap kosong jauh, jaketnya yang tebal berwarna coklat tua lusuh, sweater yang abu abu telah mulai menghitam di banyak tempat.
Tanggannya saling menggenggam di depan dadanya, seakan sedang berdoa.

Pandangannya yang kosong perlahan beralih memandangku, tampaknya ia menyadari bahwa di ruangan ini selain dirinya juga masih ada orang lain yang duduk, aku.
Heran…. jika benar ia seorang gelandangan pastilah dia telah mengambil makanan dan minuman yang banyak tersedia di sana.
Tetapi dia hanya duduk terpekur di sana menatap kosong, seakan melamun, atau seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Suatu perasaan yang aneh menyelimutiku saat orang tua itu menatapku, suatu perasaan yang dingin, jauh lebih dingin menusuk tulang dibandingkan dengan hawa pagi di luar. Bulu kudukku meremang, demikian juga pori pori di tangan yang terbungkus dalam sweater ini.
Ternyata aku telah bertemu dengan makhluk ‘lain’, sungguh tak kunyana di tengah kehidupan di negara adidaya nan modern ini, aku juga masih bisa bertemu dengan mereka.

Sesaat saling bertukar pandang, ia seakan bertanya sedang apa kalian di sini.
Mungkin penampilanku yang tidak sama dengan para bule yang menarik perhatiannya sehingga ia ‘singgah’ untuk menyapaku.
Tetapi bagaimanapun kehadirannya membuatku sangat tidak nyaman, keringat dingin mengucur deras di pelipis, leher membasahi pakaianku.

Seakan tahu akan ketidaknyamananku dia tersenyum..senyum kecut, yang makin lebar…menyeringai menampakkan gigi geliginya yang telah ompong di beberapa tempat, tampak kuning coklat karena nikotin.
Bisa kurasakan bau busuk yang menyebar dari mulutnya , terselip tajam…menyeruak di antara wangi roti panggang dan sedap bau bacon.
Perasaan jijik berkecamuk di dalam perutku, setengah kopi hangat yang baru kuteguk bergolak memaksa naik ke atas.

Kedua kaki dan tanganku seakan lemas tak berdaya untuk kugerakkan, orang tua itu makin lebar menyeringai.
Tampak lidahnya yang biru bercampur ungu bergelung kaku di dalam.
Mulutnya ternganga seperti seseorang yang akan tertawa terbahak.
Ketakutan yang amat sangat menyelimutiku…mulutnya makin besar menganga…

....sampai akhirnya terdengar suara “ODD, ODD……..BANGUN oi….Gila lu, pagi pagi udah molor di restoran.”, suara Budi menarikku kembali sadar dari mimpi burukku.

Kulihat suasana restoran yang telah menjadi terang karena sinar matahari telah banyak masuk, beberapa teman lain yang ikut masuk bersama Budi tertawa terkekeh kekeh melihatku gelagapan terbangun.
Yang pasti mulai besok aku akan cari seseorang teman lain menemaniku sebelum aku turun untuk sarapan di tempat ini.

OddieZ, Wisconsin 1997.

Tuesday, July 31, 2007

Genderuwo

Suatu desa kecil di pinggiran kota Lumajang, perbatasan dengan kota Jember, ada sebuah rumah kuno yang berdiri sejak jaman Belanda. Di sana tinggal kakak beradik keturunan Cina. Kedua perempuan ini hidupnya sangat sederhana, berpenghasilan dari keahlian mereka menjahit bagi penduduk desa setempat. Hasil jahitan mereka terkenal
teliti dan halus, terutama bordiran tangan di sarung bantal ataupun sulaman di baju.

Kehidupan mereka yang sederhana, bahkan bisa disebut miskin, seakan menghapus mitos yang selama ini terbentuk bahwa warga keturunan selalu hidup berkecukupan. Ibu mereka adalah generasi ketiga yang lahir di negeri ini, meskipun warga keturunan ibu mereka selalu berkebaya, bersanggul, memang ada sebagian warga keturunan masa itu yang telah beradat Jawa.
Berkain dan kebaya, biasanya dengan kebaya atasan yang tipis menerawang, putih umumnya. Ibu mereka juga terkenal dengan keahlian menjahitnya inilah yang kemudian diwariskan kepada kedua anaknya.

Sang ayah telah meninggal sejak mereka berdua sangat kecil. Karena itu mereka harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi, semasa mereka kecil kehidupan lebih sulit karena hanya ibunya seorang yang menjadi satu satunya yang bisa mencari orang, untunglah hubungan baik terjalin antara mereka dan seluruh penduduk desa, tak sedikit bantuan yang diberikan para tetangga yang merasa kasihan pada mereka, setelah kedua gadis itu bisa menjahit membantu ibunya maka perekonomian mereka pun beranjak membaik.

Rumah besar mereka masih sangat kuno dengan ruangan yang luas dan tinggi, dikelilingi oleh halaman yang luas dengan beberapa pohon mangga dan rumpun bambu di belakang rumah. Menurut penduduk, rumah itu tergolong angker karena banyak ‘penghuni’nya. Sarang Genderuwo, begitu menurut anggapan warga desa. Genderuwo adalah sejenis lelembut yang usil, seringkali menggoda manusia, kebanyakan penampakan sebagai makhluk tinggi besar hitam berbulu lebat bak gorila. Kedua kakak beradik itu tidak menyangkalnya, tetapi karena sejak lahir mereka tinggal di sana seakan terbiasa menghadapi hal hal yang demikian. Orang lain yang tidak kuat mentalnya pasti akan berpikir dua kali untuk tinggal di sana.

Suatu waktu ada seorang sepupu perempuan mereka yang datang berkunjung dari kota , karena kemalaman dia pun menginap. Waktu malam karena hendak buang air kecil ia pun ke WC. Seperti rumah tua pada umumnya, WC dibangun terpisah dengan bangunan induk, untuk menuju bangunan kecil yang digunakan sebagai WC haruslah melewati pekarangan rumah belakang.
Malam itu sang sepupu terpaksa memberanikan diri, setengah berlari menuju ke WC yang diterangi dengan lampu 10 watt yang berayun diterpa hembusan angin. Tengah jongkok menunaikan hajat, dilihatnya sesuatu benda kecil melintas cepat di sela daun pintu dengan lantai, pasti tikus…ia pun bersiap siap untuk berdiri dan berlari karena dia jijik terhadap jenis hewan pengerat itu.
Benda itu melintas lagi…berlari lari di depannya beberapa kali, tiba tiba berhenti di depannya, dipicingkan matanya untuk melihat jelas benda itu di bawah temaram lampu, astaga ternyata potongan tangan seorang bayi, terdiri dari pergelangan dan telapak tangan. Terbirit birit ia berlari menuju ke bangunan induk dengan teriakan yang membangunkan seisi rumah.

Kamar mandi mereka masih menggunakan bak besar, yang diisi dengan air yang ditimba dari sumur. Seringkali tengah malam terdengar orang yang sedang mandi, padahal kedua kakak beradik itu telah tertidur pulas. Keesokan harinya terlihat lantai kamar mandi dengan bak mandi yang kosong, padahal sore sebelumnya telah terisi penuh.

Pernah juga suatu malam sang adik pulang dari kondangan di desa sebelah, pada saat malam hari lewat pekarangan depan rumah, tepat di bawah pohon mangga yang besar, seakan air jatuh dari langit hujan lebat, sesaat saja dan hanya di atas kepalanya. Setelah tercium bau pesing , barulah dia sadar kalau itu adalah air kencing, seakan ada makhluk yang besar mengencinginya dari atas pohon.

Tetapi ada juga pengalaman yang sudah terjadi cukup lama, yaitu saat listrik belum masuk desa. Untuk mengejar orderan yang cukup banyak, sang kakak menjahit sampai larut malam di bawah penerangan lampu Petromax, tiba tiba dari belakang tercium bau rokok kretek, kemudian tanpa ada angin yang berhembus, nyala lampu tiba tiba meredup sampai hampir padam, kemudian menyala lagi terang, semikian terjadi beberapa kali. Sadar bahwa ada lelembut yang sedang ‘mengerjai’ dirinya, maka sang kakak berucap seakan berkata kepada seseorang di dekatnya dengan bahasa Jawa ” Wong podho golek penguripan dhewe dhewe mbok ojo saling ganggu ono” (artinya Kita khan mencari penghidupan masing masing, alangkah baiknya tidak salig mengganggu). Tak lama kemudian gangguan itu berhenti, bau rokok tak tercium lagi, di kejauhan di atas rumpun bambu yang tinggi tampak satu titik merah menyala, seakan ada seseorang menghisap rokok di sana.

Tetapi bagaimana pun mereka masih sangat takut untuk berhadapan langsung dengan makhluk halus itu. Suatu sore menjelang Maghrib, kala sang kakak sedang mandi, sang adik telah bersantai duduk di depan teras rumah dengan dua gelas ’teh- hangat di sampingnya dan sepiring pisang goreng mengepul harum. Saat akan diambil potongan kedua pisang goreng, tiba tiba dilihatnya ada tangan hitam berbulu besar berkuku hitam panjang ikut mengambil pisang goreng di atas piring. Sang adik tak berani menoleh ke sebelah menatap wajah makhluk itu, dia hanya melirik ke bawah, terlihat dua kaki besar berbulu hitam lebat, mirip sekali gorila.Dalam kediaman kedua makhluk itu makan pisang goreng. Sampai tersisa dua potong terakhir pisang di atas piring, sang adik pun berkata “Kari loro yo, kon sithok aku sithok” ( Tinggal dua yah, kamu sepotong aku sepotong).
Setelah itu diraihnya satu potong pisang, dikumpulkan segenap tenaga untuk berdiri di atas kedua kakinya yang lemas itu dan berlari sekuat tenaga masuk rumah dan membanting serta mengunci pintu.
Ini adalah pertemuan terdekat antar mereka dengan para genderuwo, Closest Encounter – seperti disebut Agent Scully dalam serial TV- The X-files.

Kisah ini diceritakan oleh seorang teman yang masih saudara jauh dari empunya rumah, jika ada yang tidak percaya ia bersedia menunjukkan lokasi yang dimaksud, tentunya dengan resiko ditanggung sendiri……

Mojoville, October 2002

Saturday, July 28, 2007

Suatu siang di kantor


Siang ini sungguh berbeda dengan siang-siang lain di kantor.
Mendung gelap menggayut, menyelimuti angkasa, siap sewaktu-waktu menumpah ruahkan butiran air yang sudah sarat dikandungnya. Sang mentari seakan mengambil cuti dengan tidak menampakkan diri sejak pagi tadi.

Jumat siang ini sungguh sunyi, dua rekan kerja telah meninggalkan meja mereka begitu bel berbunyi. Pastinya pergi untuk sholat, sementara seorang rekan pulang ke rumah untuk makan siang.

Kuteguk minuman diet yang kubuat pagi tadi.
Dengan bekal sedikit keteguhan hati sudah dua hari kulewati tanpa menelan makanan padat, hanya dengan beberapa botol minuman diet alami, yang kubuat sendiri setelah tergoda hasil nyata seorang teman yang menjadi sangat langsing setelah memraktekkannya.

Lampu kantor yang dipadamkan oleh teman-teman seperti kebiasaan setiap saat istirahat, siang ini terasa sangat gelap.
Nyala monitor terang, sementara aku baris demi baris membaca celotehan teman-teman sesama alumni SMA yang saling bersambut di homepage ‘khusus alumni’, di mana ada juga guru-guru berjiwa muda yang ikutan nimbrung.

Di tengah jari jari iseng ini mengetik reply pada suatu topik tentang pembahasan hantu di ruang tidur anak seorang kakak kelas, reply yang tak pernah kukira tak jadi kupost.

Karena tiba-tiba suatu hembusan udara dingin bertiup ke leher bagian belakangku.
Pasti bukanlah AC yang sedari tadi menderu stabil.

Wangi kembang menyergap lubang hidung, mengingatkanku pada bau khas setiap kali kulewat di depan stand penjual bunga dan kain kafan di sebelah pasar itu.

Otak ini segera bereaksi menyuruh kedua kaki secepatnya beranjak untuk meninggalkan kantor kecil ini, insting mencari tempat di mana masih ada orang lain, setidaknya di luar pasti ada beberapa office boy atau karyawan lain yang sedang lalu lalang di dekat tangga.
Tetapi kaki dan badan seakan membeku kaku tidak menuruti perintah.

Dari sudut lemari muncul sosok putih, berambut panjang sebahu, melayang mendekat.
Iya benar, melayang, Karena ia tidak perlu berjalan berbelok di sela meja dan kursi, melainkan melintas di atasnya.
Dan ia mengarah tepat ke arahku.

Tak jelas nampak mukanya.
Tetapi sesuatu membuatku tahu makhluk itu adalah seorang perempuan dan ia tidak bermaksud baik.

Dengan cepat kuteringat sepintas cerita beberapa rekan bagian IT yang kerap lembur sampai malam bahwa beberapa orang sempat berpapasan dengan bayangan putih yang melintas dari kamar mandi dan masuk ke dalam kantor.
Ya Tuhan, berarti benar yang mereka maksudkan adalah kantor ini.

Sementara makhluk itu bergerak pelan tapi pasti ke arahku, mataku menatap nanar ke depan masih tidak dapat melihat jelas muka pucatnya yang tertutup oleh rambut panjang beriap-riap. Tapi yang pasti yang kulihat sebuah seringai mulut yang penuh dengan gigi kuning.

Tuk tuk tuk….sialan ternyata bunyi gemeretuk gigiku sendiri yang gemetar tak keruan.
Keringat dingin membasahi kening dan mulai menetes di mukaku yang sama pucatnya dengan warna laptop ini sekarang.

Tinggal jarak satu meja saja, makhluk yang telah mengulurkan tangan itu pasti bisa meraih diriku yang terdiam, tak bergerak terbelenggu oleh ketakutan yang amat sangat.

Tiba-tiba makhluk itu terhenti, berhenti di depan meja rekanku yang sedang pulang makan siang. Ia menatap tajam ke atas meja dan mulai mundur perlahan.

Tak terasa pandanganku ikut melihat atas meja. Tampak sebuah gelang batu berwarna hitam kekuningan yang biasa dipakai oleh temanku, tertinggal di atas meja. Memang waktu mengetik gelang batu itu biasa dilepasnya karena berbenturan dengan kaca alas meja. Siang itu pasti ia lupa memakainya pulang.

Makhluk itu terus mundur tanpa melepaskan pandangannya ke gelang itu.

Diriku yang sudah tidak menjadi obyek utama serangannya sudah mulai bisa bergerak, kaki tangan yang tadinya kaku mulai terasa hangat dan bisa digerakkan. Ternyata pandangan makhluk itu yang seakan menghipnotis, mengikat erat seluruh tubuh ini.

Makhluk itu mundur lebih cepat dari pergerakan majunya tadi.
Sebentar ia pun masuk ke ujung gelap ruangan.
Bersamaan dengan itu pintu terbuka dan kedua rekan kerja yang baru kembali dari sembahyang berjalan masuk.

Melihatku wajahku yang pucat pasi, mereka dengan cepat membuat secangkir teh manis panas untukku.
Baru kemudian bibir ini mampu bergerak dan bercerita kepada mereka.

Setelah kutanya pada empunya gelang, gelang macam apakah itu penolongku itu. Katanya hanyalah gelang biasa dari batu tiger eye, hanya saja sering digunakan sebagai tasbih, jika sedang menganggur, batu-batu itu diputarnya sambil menggumamkan mantra pujian.
Mungkin itulah, yang menyelamatkanku siang itu.

Tetapi yang pasti akan butuh waktu lama sekali sebelum aku berani sendirian di ruang kantor ini.

Mojoville, July 27, 2007.

Tuesday, July 10, 2007

Penabur Abu Jenazah

Di pesisir pantai Pasir Putih itu tampak serombongan orang, belasan jumlahnya , kebanyakan berpakaian putih dan hitam, tak tampak sedikit pun warna merah di pakaian mereka. Sejak pagi mereka telah tiba di pantai, menjelang siang mereka berdesakan di sebuah perahu penangkap ikan berukuran sedang, menuju ke tengah laut. Jika diamati dari dekat tampak ekspresi kesedihan mereka, ternyata mereka bermaksud untuk menabur abu jenazah.

Belakangan ini di tengah sukarnya mencari lahan pekuburan, semakin banyak orang memilih cara kremasi, kemudian abunya ditabur ke laut. Karena itu semakin sering pula di pantai muncul rombongan seperti pagi ini.

Udin menatap tajam ke perahu hijau yang baru merapat itu. Dilihatnya salah seorang dari rombongan itu memberikan beberapa lembar uang kepada sang tukang perahu. Memang jumlah uang yang didapat cukup besar untuk pekerjaan yang membutuhkan waktu tidak sampai setengah hari itu, sama dengan hasil melaut selama beberapa hari.

Itulah yang menjadikan Udin sangat ingin mencoba mengantarkan rombongan semacam itu ke tengah laut. Tetapi herannya setiap kali ada rombongan penabur abu jenazah yang datang mencari perahu untuk disewa, penduduk sekitar maupun sesama rekan nelayan selalu menyuruh mereka untuk mencari perahu berwarna hijau itu, perahu Pak Juhari.
Pak Juhari sudah mulai menginjak usia senja, sudah tidak lagi terlalu sering melaut jauh ke tengah, kebanyakan membawa turis melihat karang di tepian, malam hari jika melaut juga di tepian saja, mungkin karena kondisi fisik yang sudah tidak mendukung lagi.

Udin berpikir mungkin inilah alasan semua orang memberi kesempatan bagi Pak Juhari untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari melayani para penabur abu jenazah.
Malam hari, Udin mendekati perahu hijau, Pak Juhari sedang membenahi jaring bersiap untuk melaut. Udin sengaja hendak menemui Pak Juhari sebelum mulai mencoba mengantar rombongan abu jenazah, dengan pertimbangan semakin banyak rombongan yang datang ia juga ingin ikut berbagi rejeki, tetapi karena selama ini Pak Juhari yang sering mengantarkan, tidak ada salahnya ia permisi dulu.

Pak Juhari tersenyum tipis ketika Udin mengutarakan maksudnya, manggut manggut, memang kebutuhan hidup Pak Juhari seorang diri tidaklah banyak, tidak menjadi masalah untuk berbagi rejeki dengan anak muda yang berkeluarga beranak dua itu. Udin sangatlah senang mendapatkan ‘ijin’ dari nelayan sepuh itu, periuk nasinya akan mendapatkan sumber rejeki tambahan agar dapat terus mengepul.

Saat Pak Juhari mengajaknya melaut bersama malam itu, dengan senang hati ia pun mengiyakan.
Sudah 4 jam mereka berdua menarik dan melempar jala, heran hati Udin melihat betapa banyaknya hasil ikan malam itu, padahal Pak Juhari hanya mendayung perahu di tepian pantai saja. Sedang Udin yang sehari hari melaut sampai ke tengah laut pun jarang mendapatkan hasil seperti ini. Menjelang tengah malam, mereka pun berhenti sejenak melepas penat, Pak Ju menuangkan kopi panas untuk mereka berdua dari termos yang disiapkan sebelum berangkat tadi.

Udin mengeluarkan sebungkus rokok kretek favorit nelayan setempat, sampai menjadi mithos banyak mencari ikan haruslah merokok merk itu, karena hasil tangkapan pasti akan banyak. Sejenak suasana menjadi hening, hanya terdengar ombak memecah kecil di badan perahu. Pak Juhari berkata lirih, “Memang Nak, setiap siangnya aku mengantarkan orang melarung (menabur abu), pasti malamnya aku akan panen ikan, karena itu malam ini aku melaut, juga mengajakmu karena bisa membantu menjala. Ndak tau, apakah mungkin dibantu roh yang aku bantu tadi.”

Udin terdiam tak tahu mau menjawab apa, karena dia juga merasakan keanehan ini, seketika angin laut menjadi sangat dingin menembus jaket tebal yang dikenakannya, bulu kuduknya meremang. Kembali keduanya dibalut kesunyian, duduk di dekat salah satu ujung kapal, di mana ujung kapal satunya hampir tertumpuk oleh ikan hasil tangkapan mereka tadi. Nyala lampu petromax bergoyang seiring gerakan perahu yang dialun gelombang, wangi tembakau merebak tipis dari ujung rokok mereka berdua, dengan asap tipis yang dengan cepat hilang diterpa angin.

Saat Udin hendak bertanya apakah sudah waktunya untuk pulang dengan tangkapan sebanyak itu, tiba tiba dia melihat sesosok tubuh di ujung perahu satunya, sesosok tubuh wanita seharusnya melihat rambutnya yang panjang sedikit di bawah bahu, berpakaian putih, bermuka pucat, duduk diam tak bersuara memandang mereka berdua. Keringat dingin mengalir di pelipis Udin, bibirnya kering lidahnya kelu tak mampu bergerak ketika ia hendak memanggil Pak Juhari.

Hampir 10 detik ia terdiam kaku saling bertatapan dengan sosok wanita itu, sampai akhirnya Pak Juhari menyadari keanehan sikap Udin dan mengikuti arah tatapan matanya ke ujung perahu satunya.

Dengan suara lirih Pak Juhari berkata,” Terima kasih Non, malam ini memberi rejeki pada bapak, semoga Non bisa tenang di alamnya”. Sehabis perkataan itu, bayangan putih itu pun perlahan kabur dan menghilang.

Udin seakan baru tersadar ketika Pak Ju menuangkan lagi kopi panas ke gelasnya yang hampir kosong itu, hangatnya kopi yang mengalir masuk kerongkongannya seakan membuat darah mulai mengalis di tubuhnya, wajahnya yang pucat pasi mulai terasa panas.

“Memang kejadian seperti ini sering terjadi Nak”, tutur Pak Juhari, “ Kita harus membiasakan diri saja. Tidak perlu takut, karena kita pada dasarnya membantu mereka dengan melarung abu jenazahnya ke laut. Mereka hanya ingin muncul untuk berterima kasih saja.”

Udin hanya manggut manggut kecil, masih tidak mampu menjawab dari lidahnya yang masih kelu, setidaknya ia akan berpikir dua kali lagi sebelum berani menerima tawaran untuk melarung abu jenazah ke laut.

OddieZ
Mojoville, Oktober 2002.

Thursday, July 5, 2007

Another reason for Cremation

That why I choose cremation, and ashes to the sea.
=====
Dihapusnya tetesan air yang mengalir perlahan turun dari sudut matanya. Perasaan sedih bercampur jengkel berkecamuk tak keruan di dalam dadanya.

Malam semakin larut, masih enggan rasanya A-Ying memejam mata, terlintas kejadian seharian tadi yang terus menghantuinya…..

Pagi itu kompleks pemakaman Cina di daerah Singosari, sebelah Utara kota Malang, sangatlah ramai. Bergerombol orang orang di sekitar pemakaman. Mulai dari tukang parkir dan tukang jual minuman di pinggir jalan, orang tua, anak muda dan anak kecil yang berkeliaran di antara makam.

Hari itu adalah Qing Ming alias Cheng Beng, hari tradisi bagi orang Cina untuk mengunjungi makam leluhurnya. Masyarakat sekitar pun telah sangat hafal dengan hari itu, karena mereka juga berharap dapat mengais rejeki. Mulai orang tua sampai anak kecil yang minta minta dibagi uang recehan.

Seperti tahun sebelumnya A-Ying pagi itu juga berangkat dari rumah untuk mengunjungi makam orang tuanya. Diangkatnya keranjang yang cukup besar berisi makanan yang akan digunakan untuk sembahyang nantinya. Sengaja ia menumpang mikrolet dari rumah, karena sudah dipastikan akan kesulitan untuk memarkir sepeda motor bututnya di parkiran makam yang pasti penuh itu.
Sang kekasih A-Yang dengan setia menemaninya berjalan di samping, membawa satu tas berisi lailin, hio serta beberapa perlengkapan lain untuk menyiangi rumput di atas makam.

Seperti tahun lalu pula mereka berangkat dengan hati was was karena keamanan di makam saat Cheng Beng makin lama makin parah. Tak luput dari perkiraan, kali ini juga seperti itu. Mulai dari pintu masuk makam, anak anak kecil berkerubung minta dibagi uang receh. Setelah itu menyusul giliran orang orang tua. Untuk ini mereka telah mempersiapkan recehan logam yang cukup banyak untuk dibagikan.

Dengan susah payah A-Ying berdua melewati kerumunan orang dan sampai di makam orang tuanya, mereka mulai menata makanan untuk sembahyang. Beberapa anak muda yang berambut gondrong mulai mendekat beberapa di antara mereka membawa sabit, dengan memaksa mereka membersihkan makam.

Setelah secara sembarangan mengayun ayunkan sabit dan mencabut beberapa batang rumput, mereka pun minta imbalan. Terpaksa A-Yang pun mengeluarkan lembaran lima ribuan yang terselip di saku belakang jin nya. Tetapi anak anak muda itu malah berteriak teriak marah sambil mengumpat dengan kata kata kotor, “ Lima ribu rupiah, apa kamu kira kami ini pengemis, kami di sini bantu njaga makam tahu ! “. Terpaksa A Yang pun memberikan sisa satu satunya lembaran puluhan ribu yang ada. Begitu pun mereka masi pergi dengan mengomel-ngomel.

Di tengah kesibukan Aying dan A Yang menyiangi rumput dan menyapu kotoran di sekitar makam, segerombolan lain anak muda datang. Kali ini yang datang lebih banyak ada tujuh orang, penampilan mereka juga lebih menyeramkan, tato tengkorak di lengan kanan salah seorang dari mereka. Sama dengan gerombolan sebelumnya mereka pun memaksa untuk membantu membersihkan makam.
Tetapi karena makam sudah hampir selesai dibersihkan, ditambah lagi sudah tidak ada uang di kantong maka A Yang pun menolak dengan halus. Tetapi gerombolan ini tidak mau tahu, mereka malah minta ‘ uang keamanan’ , setelah ditolak mereka pun marah marah. Mendengar suara keras, dua orang Hansip pun mendekat, tetapi bukannya mereka menertibkan malahan mereka minta agar A Ying berdua memberikan uang secukupnya untuk mereka.
Karena benar benar telah habis uang yang dibawa, tentu saja A Ying berdua tidak dapat memberi uang lagi.
Kemudian gerombolan anak muda itu mengamuk, hio hio yang tertancap dicabuti, makanan yang ditata di depan makam dijarah, yang dapat dimakan dimakan, yang tidak disukai ditendang dan diinjak injak. Dengan bantuan dari kedua Hansip, A-Ying berdua dengan susah payah meninggalkan area pemakaman.

Malam makin larut, air mata telah menetes habis.
Kantuk mulai membuai, mengajak A Ying untuk tenggelam dalam tidur……yang jauh lebih damai.


Oddiezz
March 2004

Saturday, June 23, 2007

Gang Makam

going thru...my old writing last nite....
wondering how could I come out with that kindda stuff :)

-------------------

Malam makin larut, dituntunnya sepeda motor tuanya melewati gang sempit menuju rumahnya.
Di sore hari masih diijinkan pengendara motor untuk menaiki motor melewati gang tersebut, tetapi sesuai dengan kesepakanan warga selepas pukul sembilan malam, semua motor harus dimatikan mesinnya dan dituntun supaya tidak mengganggu ketenangan warga beristirahat.

Kegiatan di Vihara lumayan sibuk, ia harus membantu memberesi kursi kursi yang disewa untuk para peserta ceramah biksu tamu dari Jakarta itu. Untunglah hari ini hujan tak turun seperti hari hari sebelumnya.

Sebentar lagi harus dilalui daerah gang yang bersebelahan dengan pekuburan itu. Setiap kali ia melewati daerah itu pasti bulu kuduk meremang, meski untungnya sampai sekarang masih belum dijumpai sesuatu yang aneh, tak urung cerita yang berulang kali didengar setiap kali mengobrol dengan anak muda sekampungnya terus melintas di benaknya,
mulai dari sosok tubuh wanita yang berwarna putih yang sesekali tampak melayang di antara pohon kamboja.

Ada juga anak muda yang minggu lalu pindah dari tempat kostnya di kampung itu lantaran saat ia berjalan pulang di sebelah pekuburan itu hampir terjatuh karena tersandung, setelah dilihat ternyata sebuah kepala manusia yang memandangnya dengan mata melotot.

Akhrinya dia mencapai bagian yang paling seram dari kampungnya itu, tetapi mulutnya masih berkomat kamit membaca Ratana Sutta, mencoba memancarkan Metta kepada semua makhluk, agar dirinya tidak diganggu seperti yang telah dialami oleh beberapa temannya.

Angin berhembus semakin dingin, setelah dirasakan ternyata yang berhembus, hanyalah di tengkuk lehernya saja, seperti……seperti ada seseorang yang sengaja meniup niup lehernya bagian belakang.
Lampu neon yang menyala temaram seakan tak mampu menguak tabir gelapnya malam. Tepat saat ia lewat di bawah lampu itu, tiba tiba lampu itu berkedip beberapa kali dan padam.
Karena mesin motornya tidak dinyalakan, hampir tak ada cahaya yang menerangi jalan di depannya, terpaksa langkah kakinya melambat.
Ditengoknya ke atas, bulan pucat yang hanya setengah itu pun juga sedang bersembunyi di balik awan yang tebal.

Seperti dikatakan orang, bila salah satu inderamu tidak berfungsi maka indera yang lain akan lebih peka.
Seperti orang buta, indera pendengaran dan perabaannnya akan menjadi lebih peka dari orang biasa.

Mungkin ini yang sedang terjadi padanya, karena gelapnya malam hampir seakan membutakan pandangannya, maka bunyi bunyi serangga malam terdengar makin keras, bunyi jengkerik, sampai seakan terdengar jelas kepakan kelelawar yang kebetulan terbang rendah di atas kepalanya.

Demikian juga dengan indera penciumannya, pertama tama tercium bau kecut keringatnya sendiri, teringat bahwa sejak tadi pagi sampai hampir tengah malam ini, dirinya masih belum sempat mandi lagi, bahkan karena sangat sibuk, mencuci mukapun tidak sempat.

Kemudian samar samar tercium bau sampah yang busuk, pasti pabrik pengolahan makanan ternak yang terletak lumayan jauh dari gang tempat tinggalnya lagi melepas udara busuk hasil samping dari proses produksinya.

Namun kemudian bau bau itu hilang semuanya tertutup oleh suata bau wangi yang cukup menyengat, bau bunga, bau bunga Kenanga, seperti bau dari salah satu merk cologne penyegar yang getol dipromosikan di TV untuk para gadis ABG, tetapi lebih menyengat, lebih menyerupai bau wangi yang tercium pada bunga, ya….bunga yang digunakan para pelayat untuk ‘nyekar’ , untuk ditaburkan di atas makam.

Sepeda motor tua yang dituntunnya terasa semakin berat, seakan ban rodanya kempis atau seakan……ada penumpang yang duduk di jok belakangnya.

Keringat dingin menetes deras di dahinya, setengah berlari ia menyeret sepeda motor tuanya.
Hembusan angin dingin di tengkuk belakangnya semakin sering, terasa seperti hembusan napas orang.
Bunyi jengkerik dan serangga lainnya hilang, sunyi senyap entah hilang ke mana. Hanya terdengar langkah sepatunya setengah terseret, napasnya yang terengah engah, tetapi semilir bau bunga itu terus menyelimutinya.

Akhirnya sampailah ia pada lampu neon penerangan jalan berikutnya, diayunkan kakinya lebih cepat ke dalam cahaya lampu itu , seperti ngengat terbang menuju cahaya lilin.
Begitu jalan gang tampak mulai terang di depannya, motor yang didorongnya terasa menjadi ringan, bau bunga Kenanga pun menghilang.

Diberanikan dirinya untuk menoleh ke belakang, tak tampak suatu apapun.
Dua puluh meter kemudian sampailah ia ke rumah kontrakannya, dengan tangan setengah gemetar dibuka kunci ruang tamu.
Ketika dia memarkir sepeda motornya di ruang tamu, tangannya terasa lengket saat menyentuh permukaan jok belakang.

Terhenyak dia duduk di kursi, saat dilihatnya jok belakangnya kotor….
lengket dengan tanah pekuburan yang masih merah,

seakan seseorang yang berlumuran tanah baru saja duduk di sana.

OddieZ
Mojoville, April ‘04

Tuesday, June 19, 2007

Dongeng Opo Maneh ( dongeng apa lagi)

Dongeng Opo Maneh.

Cinderella melirik sepatu kaca yang tinggal sebelah, setelah kekuatan sihir Sang Peri hilang kemarin malam semuanya hilang, baju pesta nan sexy, mahkota bertahtakan puluhan butir berlian, kereta kencana, kusir yang cakep cakep. Bahkan seperti diantisipasi sebelumnya Si Cindy(nama kerennya) secara diam diam melepas sebutir berlian dari mahkotanya untuk disembunyikan, ternyata pagi ini juga berubah menjadi sebutir kedelai, sh*t….sang peri seakan tahu akal busuknya…..weruh sadurunge winarah..’tahu sebelum terjadi’ begitu istilahnya menurut kepercayaan Kejawen yang belakangan ini didalami oleh Cindy.

Berdasarkan ilmu baru yang baru dipelajarinya itulah dia mencoba mendatangkan Sang Peri baik hati, setelah tapa mati geni 7 hari 7 malam, bertapa dengan berpantang menyalakan api untuk kepentingan apa pun – untung Cindy masih punya Microwave untuk dipakai, hingga bisa untuk menghangatkan masakan delivery…Pizza, Mc.D,etc. Diteruskan dengan tapa kalong selama 3 hari 3 malam, bertapa di atas pohon hanya dengan makan buah buahan, memang rumah pohon yang telah dibangun emang ga gitu asik tetapi mending ..lumayan comfy …setelah sofa Celini yang dipesen kemaren udah diantar terus juga abis dipasang AC 3/4 PK, lagipula maem buah buahan baik untuk dietnya saat ini, anggur Aussie, durian monthong, apel Fuji – Jepang, bagus juga untuk ngilangin lemak abis maem junkfood, TV diner juga seminggu berturut turut. Yang paling berat adalah di akhir ujiannya adalah tapa pendem selama 1 hari 1 malam, yaitu bertapa dengan dikubur dalam lumpur di mana leher ke bawah tidak boleh muncul ke permukaan, untunglah berkat kebaikan dari pemilik salon langganannya, Cin boleh memakai Spa – Mud semalaman dengan catatan kalo lumpurnya mengering dan tidak bisa lepas resiko ditanggung sendiri.

Memang kemunculan Sang Peri sungguh mengejutkan, karena tak dinyana untuk seorang Beginner yang mempelajari Kejawen dari buku “ Kejawen for Dummies” selama seminggu telah bisa memperoleh hasil seperti itu. Bagaikan seorang yang baru pegang PC sudah bisa menghack sitenya E-Gold, bukan BCA lho…soalnya kalo yang ini emang gampang meskipun udah pake key segala macem. Yang paling asik saat pesta dansa tadi malem di mana banyak kali peserta sudah On, maklum yang punya gawe khan pangeran sendiri, jadi para polisi (pamong praja) maupun intel (punakawan) samasekali tutup mata (as usual kalo angpao dari empunya diskotik lancar), setelah menyuap MC dari event organizer yang lagi naik daun itu, akhirnya Cind punya kesempatan untuk mendekati Sang Pangeran. Dalam waktu sempit itu ia sempat menggunakan sumpit..eh menggunakan ajian Pengasih Ratu Bojong, seperti tercantum dalam buku manual, chapter ke 13.( karena takut lupa udah bikin kerepekan di punggung tangan, untung dari kejauhan tampak seperti tatto India ..kaya punya Madonna itu lho). Weleh tahunya si Pangeran ngikut terus ama dia, ga tau karena ajiannya berhasil atau mungkin karena baju pesta yang didesain ama Si Peri terlalu sexy, dengan potongan leher yang rendah, dengan kain elastis yang ketat serta tipis, menampakkan …..(tidak bisa didescribe lebih lanjut dengan pertimbangan akan disensor abis nantinya, untuk yg pengin tahu lebih lanjut gimana jelasnya silahkan hubungi pengarang)

Anyway…… pesta semalam sukses pol, tapi celakanya pagi ini Cindy tidak inget jelas apa yang terjadi setelah Sang Pangeran mengajaknya disko Asereje. Apa mungkin….Bloody Mary yang diminumnya kemaren telah dikasi obat ama Si Pangeran waktu dia ke belakang. Ah.. positive thinking aja….paling paling juga khasiat sihir Sang Peri abis dan ia tersedot kembali muncul di atas ranjangnya.

Telepon yang anda tuju sedang di luar jangkauan, Cobalah beberapa saat lagi. Sudah beberapa kalo no HP Si Pangeran dicoba utk dihubungi tetapi selalu saja tidak berhasil. Memang kok istana gitu gedhe kok ga dipasangin repeater biar signal HP kuat, di dalam Mall aja bisa. Pokoknya ntar kalo udah jadi permaisuri pasti itu yang gua beresin dulu, janji Cindy dalam hati, kalo ga bakal berabe….anak anak pada ga bisa cari gua ngerumpi dong…….

Mojoville, Mei 03

Tuesday, May 22, 2007

Bulan Arwah

Bulan pucat…langit tidak berbintang. Bulan tujuh di penanggalan Cina dianggap sebagai bulan arwah gentayangan, di mana pintu antara dua dunia berbeda terbuka dan banyak arwah yang bisa menyeberang ke alam fana. Tepat pertengahan bulan biasanya diadakan sembahyangan besar khusus untuk menjamu arwah arwah tersebut agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Ini adalah sepenggalan tradisi kuno yang masih dipercayai sebagian masyarakat Cina.

Malam itu Xiao Yu, seorang perawat yang bertugas di rumah sakit Chang Rung di kota Tai Chung, berkemas pulang setelah bekerja lembur hampir duabelas jam lamanya, karena kebetulan rekan kerjanya sedang sakit.
Karena harus bekerja hampir seharian hari itu dia tidak sempat untuk ke kuil untuk mengikuti sembahyang pertengahan bulan yang hampir selalu diikutinya setiap tahun.

Arloji perak mungil di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul 10 malam, diliriknya ujung jalan perempatan sekitar 200 meter di depannya, masih sepi, belum terdengar deruman sepeda motor sang kekasih yang berjanji akan menjemputnya sepuluh menit yang lalu.

Telah tiga tahun mereka berhubungan, kali ini seakan Xiao Yu menemukan pangeran pujaan hati yang sangat cocok dengan impiannya selama ini, yang selalu setia mengasihinya, meski di segi materiil masih sangat terbatas untuk seorang lulusan universitas yang baru terjun ke masyarakat. Dari kejauhan mulai terdengar suara sepeda motor mendekat, Xiao Yu hampir pasti bahwa si dia lah yang datang, karena di malam selarut ini memang tidak banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan. Sebentar kemudian sebuat Honda otomatis, 50 cc, kendaraan yang paling populer di jalanan di Taiwan ini, juga karena harga yang terjangkau,mendekat.

Tubuh kekar yang berbalutkan jaket hitam dan helm teropong tidak menampakkan sama sekali rupa pengemudi sepeda motor biru itu. Tetapi tanpa ragu Xiao Yu mendekat, menyapa dan langsung naik ke boncengannya, dipeluknya tubuh sang kekasih, terasa kehangatan tubuh dan bau harum khas after shave yang telah sangat hapal di benaknya. Apartement kecil kontrakan Xiao Yu hanya berjarak 20 menit dari rumah sakit tempat kerjanya, sedang tempat tinggal sang kekasih adalah 15 menit di arah yang berlawanan, sehingga setelah mengantar Xiao Yu pulang, si dia masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke rumahnya, dalam hati Xiao Yu merasa cukup bersyukur memiliki kekasih yang penuh pengertian ini.

Sepanjang perjalanan mereka tak bersuara, hanya sepasang tangan mungil Xiao Yu menggenggam erat pinggang si dia, mencoba membagi kehangatan tatkala mereka berdua menerpa angin malam yang cukup sejuk..bahkan agak dingin menembus kehangatan malam. Tak terasa mata Xiao Yu mengantuk..kelopak mata sangat berat hampir tak bisa terbuka.

Pagi hari, hampir jam sembilan baru Xiao Yu menggeliat bangun di ranjangnya yang empuk, anehnya hampir tidak dia ingat kejadian setelah dia mengantuk di boncengan kekasihnya malam kemarin, mengapa tiba tiba terbangun sudah di atas ranjangnya sendiri

Diraihnya telepon, dipencet nomor HP kekasihnya yang seharusnya sekarang sedang bekerja di kantornya, lima deringan berlalu tanpa ada yang mengangkat….hampir ditutupnya telepon hingga ada suara seorang wanita yang menjawab” Wei (Halo)…” serak serak basah seakan habis menangis.

Suatu perasaan aneh menyelimuti hati Xiao Yu saat ia mengenali bahwa itu ada suara ibu kekasihnya.

Bingung…linglung…tak mampu berkata apapun…saat Xiao Yu mendengar berita buruk yang telah menimpa kekasihnya sore kemaren, bagaimana sepeda motornya selip dan ditabrak taxi dari belakang, dan si dia terbaring koma di rumah sakit sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 7 malam kemaren.

Si diakah yang tetap menjemput Xiao Yu pulang kemarin? Menyeberang pintu dua dunia yang masih terbuka untuk terakhir kalinya menjemput sang kekasih tercinta, terakhir kali berpamitan…..Tak kuasa berpikir lebih lanjut, Xiao Yu terduduk menangis tersengguk, teringat jelas bau harum khas after shave yang telah lekat di benaknya saat dia memeluk kekasihnya erat malam kemarin.


Mojoville, October 2002

Thursday, May 3, 2007

Kolam Renang

Anggukan dari gadis penjaga counter menyambutku di kolam renang. Dari raut wajahnya yang lelah dapat disimpulkan bahwa tadi seharian pasti kolam renang penuh. Sehingga dia harus bekerja tak hentinya. Meski dia tetap dengan sopan menyapaku, sorotan matanya yang capek masih tetap tersirat dengan jelas.

Memang aku sengaja memilih malam hari untuk pergi berenang, di samping memang karena aku adalah seorang pegawai yang bekerja seharian, juga karena kolam lebih sepi, lebih leluasa untuk berenang di kolam yang ukurannya cukup kecil itu tanpa harus terus menghindar dari tabrakan dengan perenang lainnya. Suatu perasaan yang santai juga terasa jika aku berenang sendirian sambil berkhayal bahwa itu adalah kolam pribadiku.

Tetapi sebenarnya ada satu alasan lain mengapa aku memilih malam hari di mana sangat sedikit pemakai kolam, yaitu dengan begitu aku lebih leluasa menjalankan latihan dari ilmu pernapasan yang baru saja aku pelajari. Memang sedari dulu salah satu hobiku adalah mempelajari berbagai ‘ilmu’, berbagai buku telah kubaca dan beberapa orang telah pernah menjadi ‘guru’ ku. Memang bukan benar benar guru karena aku memang tidak pernah secara resmi menjadi murid, membayar uang sekolah atau les, masuk ke perguruan atau padepokannya, melainkan semuanya hanya karena takdir.
Suatu takdir yang sederhana dalam kehidupan, di mana dua manusia yang tidak saling kenal kebetulan bertemu di suatu tempat, berbincang bincang, bertukar pikiran, dari sinilah aku banyak bertemu dengan ‘guru’ku.

Seperti minggu lalu saat ku makan malam di warung kecil di sebelah rumah kos ku. Ada seorang bapak tua,berpakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala dari kain batik, duduk diam di ujung bangku memperhatikan aku menyantap nasi rawon kegemaranku. Setelah aku selesai, barulah dia tersenyum menyapaku.
Setelah basa basi beberapa saat, barulah aku menyadari bahwa gelas kopi di tangannya selalu mengepul, seakan baru saja diseduh dengan air mendidih, padahal kami sudah lebih dari sepuluh menit bercakap cakap. Setelah kucoba berkonsentrasi beberapa saat akhirnya bisa ku’lihat’ bahwa tangannya yang keriput dengan kuku yang agak menguning terkena nikotin rokok kretek yang dihisapnya itu, mengalirkan hawa merah menyelimuti gelas kaca berisi kopi itu, membuat kopi itu selalu panas mendekati titik didih, mengingatkanku pada penghangat kopi elektrik di kantor.
Melihat diriku mengerutkan kening berkonsentrasi, sang bapak tua hanya tersenyum arif, rupanya dari tadi dia sudah mengetahui keadaan diriku, yang kata orang jawa ada sedikit ‘berisi’. Berturut turut tiga malam, aku sengaja terus makan rawon sebagai makan malamku, untuk dapat bertemu dengan sang bapak, dia sebagai orang yang ‘ngelmu’, ngangsu kaweruh, orang yang mencari pencerahan, orang yang menggali inti-jiwa, menyelami arti hidup, apa pun juga istilahnya, seperti biasanya tidak pelit untuk berbagi ilmu dan tips bila berjumpa dengan orang yang seakan oleh takdir dipertemukan dengannya. Sama sekali lain berlawanan dengan anggapan masyarakat umum selama ini, atau dalam cerita cerita silat, bahwa dua orang berilmu yang bertemu cenderung untuk saling mengadu ilmu, mencari gelar yang terkuat.

Sayangnya setelah itu, sang bapak tua kemudian tak pernah muncul lagi di warung itu, meskipun dengan sengaja aku berturut turut itu makan malam rawon untuk menunggunya, mungkin ia telah meneruskan pengembaraannya.

Secara kebetulan pula aku mendapatkan cara berlatih yang menyenangkan di kolam renang. Beberapa hari ini memang cuaca malam agak dingin, sehingga semakin jarang perenang malam. Saat masuk kolam saat itu, air terasa dingin sekali, karena itu secara tak sengaja kulakukan apa yang diajarkan oleh bapak tua minggu lalu, udara yang masuk lewat lubang hidung bagaikan dua sinar merah masuk ke dalam tubuh memasuki rongga dada turun terus berkumpul di satu titik sekitar setengah jengkal di bawah pusar, yang mana di salah satu buku yang pernah aku baca dinamakan titik ‘ Tan – Dien’. Kemudian di titik tersebut kumpulan sinar merah berkumpul laksana bola api yang berputar, dari kecil perlahan membesar seiring dengan masuknya napas terus menerus, setelah cukup besar maka sinar merah mulai dialirkan ke seluruh badan, kaki, tangan, sampai ke seluruh permukaan kulit. Beberapa saat kemudian, badan terasa hangat, dingin air kolam sudah tidak lagi terasa.
Setelah itu secara rutin, aku melakukan sedikit latihan setiap kali sebelum berenang. Terlebih lagi di dalam kolam yang penerangannya temaram ini, tidak akan tampak di dalam air, bila berlatih jurus jurus sederhana guna memperlancar peredaran hawa di dalam tubuh. Air juga terasa sebagai penghantar hawa yang baik di antara kedua telapak tangan, bahkan tidak perlu sampai kedua telapak tangan menyatu, air di antara telapak sudah dapat menjadi jembatan aliran hawa, mungkin ini berasal dari sifat air sendiri sebagai penghantar listrik yang baik. Dalam satu dan lain hal, chi / hawa murni memang banyak mempunyai keserupaan dengan aliran listrik.

Tetapi malam itu setelah beberapa saat di dalam kolam dan berkonsentrasi masuk ke dalam latihan. Tiba tiba kurasakan, walau dengan mata yang masih tertutup, sesosok tubuh di ujung lain kolam. Aneh, padahal waktu aku masuk tadi, jelas jelas tidak ada orang sama sekali, di dalam maupun di pinggiran kolam. Apakah mungkin dia baru masuk saat aku memejamkan mata beberapa saat lalu.
Tak percaya aku, saat kubuka mata tidak tanpa siapapun. Tapi dengan mata terpejam, ku’lihat’ dengan jelas sosok itu di dalam kolam, bersandar di dinding yang berseberangan dengan tepi kolam di mana aku berdiri. Tubuhnya berpendar redup, berlapiskan kabut tipis yang melilitnya bagai puluhan ekor belut. Bulu kudukku merinding saat, kurasakan bahwa sosok itu tengah menghadap ke arahku dan ‘menatapku’ terus menerus.

Perasaanku sangat tidak enak, sama persis seakan waktu menjelang kecelakaan mobil dulu yang hampir merenggut nyawaku, perasaan ini seringkali muncul kalau ada musibah yang akan menimpaku.
Sosok putih itu terasa berjalan pelan dalam air, perlahan mendekatiku, setiap langkah dia mendekat semakin kuat tercium olehku hawa yang yang dipancarkannya, hawa kebencian yang amat sangat, hawa balas dendam yang sangat jenuh, hawa membunuh yang telah memuncak…..
************
Kupusatkan konsentrasiku lebih kuat, sosok putih yang tampak samar samar itu menjadi semakin jelas, seperti kamera yang semakin tepat fokusnya. Wajahnya kurus dengan tulang pipi yang bertonjolan, matanya kosong tidak berbola mata hanya tampak dua rongga hitam yang sangat dalam, mulutnya menganga seakan menjerit keras tetapi tanpa suara yang keluar.
Tanpa suara? Salah rupanya anggapanku, dengan makin mendekatnya sosok itu, atau dengan makin terpusatnya konsentrasiku perlahan mulai terdengar suara jeritan dan tangisan yang menyayat hati, suara itu seakan ada seakan tidak, lain dengan suara manusia biasa, lebih menyerupai gaung, lebih ringan mengambang jernih, lebih jernih dari nada dering handphone merk apapun, tapi jika terdengar pasti membuat bulu kuduk berdiri.

Banyak orang yang mengatakan bahwa ada makhluk di alam di bawah manusia salah satunya bersemayam di habitat air, tapi baru kali ini aku sungguh sungguh bertemu dengannya.

Dalam salah satu buku yang pernah kubaca dijelaskan bahwa salah satu alam roh yang lebih rendah dari alam manusia, mengklasifikasikan jenis roh berdasarkan lima unsur, yaitu metal (chin), kayu (mu), air (shue), api (huo), tanah(du). Di mana setiap jenis mempunyai karakter tersendiri, yang muncul di depanku ini pastilah roh setan berunsur air, anehnya biasanya mereka senang tinggal di daerah yang tidak banyak manusianya, seperti di tepian sungai, di bawah jembatan, atau mungkin juga di pantai.
Mereka bersifat penyendiri, satu roh berada di satu tempat tempat kekuasaanya sendiri tanpa ada roh lainnya. Tidak seperti jenis roh berunsur kayu misalnya mereka tidak berkeberatan untuk tinggal bersama, jadi lumrah pada satu pohon beringin besar bersemayam beberapa roh sekaligus.
Setan air disebutkan biasanya diliputi oleh hawa kebencian yang amat dalam, mungkin karena pada umumnya mereka mengalami proses kematian yang tidak mengenakkan.
Saat membaca buku itu aku sempat heran bagaimana sang pengarang bisa mendalami karakter para setan, apakah sama dengan orang orang yang suka meneliti sifat orang berdasarkan Zodiac. Hanya saja karena setan tidak mempunyai tanggal lahir atau tanggal kematian sehingga tidak bisa digolong-golongkan zodiacnya, sehingga ia pun ‘menciptakan’ pembagian berdasarkan lima unsur utama yang sebenarnya adalah unsur dalam ilmu hongsui.
Tapi malam itu aku merasakan apa yang ditulisnya itu ada benarnya juga, hawa kebencian bercamput hawa membunuh yang meluap mendahului makhluk itu mencapaiku, membuat dadaku terasa sesak. Aku merasa seakan menjadi anak ayam yang akan menjadi mangsa seekor ular kobra, jelas jelas tahu bahwa di depannya ada seekor ular yang siap akan menerkamnya tapi terpaku tidak bergerak tidak mampu melarikan diri bagai terhipnotis oleh pandangan sang ular. Atau inikah yang dirasakan oleh korban vampire yang sering kutonton di film horror, yang sering kutertawakan dalam hati karena hanya bisa pasrah mempersilakan sang pangeran kegelapan untuk menghisap batang lehernya.
Sesaat aku terbengong itu, makhluk yang tampaknya maju dengan perlahan itu tak dinyana telah berada hanya dua meter di depanku. Belut belut kecil yang sedari tadi terus berputar mengelilingi sekujur tubuhnya bergerak maju ke arahku.
Tanganku bergerak mengatupkan kedua telapak di depan dada, secepat mungkin kukerahkan semua chi yang ada untuk mengelilingi tubuhku yang mulai menggigil kedinginan.
Kurasakan hawa hangat mulai menyelimutiku dari ujung kepada turun terus menyelubungi dada, perut turun terus ke bawah …
Tapi terlambat, kaki kananku kena……terasa gigi gigi yang runcing menhunjam masuk betis kananku, sekejap kemudian badan belut itu telah dengan erat melilit kakiku. Hawa dingin yang menusuk tulang merasuki tubuh melalui telapak kaki tepat di bawah ibu jari.
Banyak orang berpendapat bahwa manusia mempunyai sembilan lubang yang menghubungkan tubuh bagian dalam dengan keadaan luar, di mana keadaan luar bisa sebagai alam manusia maupun juga alam lain. Kesembilan lubang itu adalah dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, anus dan lubang kelamin. Semua interaksi antara keadaan di dalam tubuh seseorang dengan bagian luar dilakukan melalui lubang tersebut. Memang pandangan demikian adalah benar dari sisi pandang tertentu saja, kenyataanya masih ada lubang lubang yang tidak terlihat dengan kasat mata. Misalnya saja ada ajaran yang mengatakan bahwa beratus ribu lubang pori pori di permukaan kulit manusia adalah lubang perantara, bagian gerbang gerbang portal kecil yang berserakan di seluruh internet yang menghubungkan platform antara operating system yang dipakai, dalam ini kesadaran manusia itu sendiri, dengan lingkungan cyber di luarnya.
Bagaimanapun yang cukup sering kudengar adalah dua titik di telapak kaki manusia tepat di bawah masing masing ibu jari kaki merupakan gerbang portal yang cukup besar untuk keluar masuknya arwah atau roh atau kesadaran atau apa pun istilahnya dari seseorang atau sesuatu yang ingin masuk. Hal ini cukup kepercayai karena sewaktu kuliah semester akhir dulu, saat aku dengan beberapa teman KKN di salah satu desa di dekat Jogjakarta, salah seorang teman putri kerasukan saat membantu menebangi rumpun bambu yang menghalangi jembatan yang kami perbaiki. Beruntung salah satu pemuka desa yang menemani kami kerja bakti cepat bertindak. Dengan menekan satu butir merica putih di telapak kaki kanan temanku itu, ia memaksa roh yang masuk untuk keluar lewat telapak kaki satunya.
Setengah gemetar, tanganku mengulur jauh ke belakang berusaha meraih tangga aluminium untuk naik. Kekuatan setan air adalah paling besar jika dia berada di dalam air, banyak korbannya dibuat lemas tenggelam. Jadi pikirku dengan berusaha naik dari air kolam, kekuatannya dapat melemah dan kesempatan untuk menyelamatkan nyawa kecilku ini lebih besar.
Berhasil…..tangan kananku berhasil meraih anak tangga itu, tetapi saat itu juga kaki kiriku berhasil disergap oleh salah satu belut yang menyerang.
Arghhh…..tak terasa mulutku mengeluarkan teriakan cukup keras, cukup keras untuk mengalahkan bunyi TV yang tengah ditonton oleh para pegawai kolam renang. Dua orang pegawai laki laki bergegas menghampiriku.
Belum sampai mereka mencapaiku, sosok putih berselimutkan hawa kebencian itu telah melepaskan cengkeramannya dan dan mundur menjauh secepat ia tadi mendekat.
Memang pada dasarnya setan tidak suka terhadap hawa manusia. Tanpa disadarinya atau tidak setiap manusia yang masih hidup sedikit banyak pasti akan mengeluarkan hawa manusia atau Ren-Chi, yang termasuk hawa panas atau hawa ‘yang’, yang mana bagi para roh yang hidup di alamnya yang bersifat dingin atau ‘yin’ amatlah mengganggu. Oleh karena itu semakin banyak manusia berkumpul di suatu tempat kumpulan Ren Chi akan makin besar sehingga para makhluk dunia lain enggan mendekat.
Dibantu oleh mereka, aku bisa naik dari kolam itu setengah menyeret tubuhku.Dengan perasaan lemas kujelaskan pada kedua petugas kolam bahwa kakiku kram ototnya, mereka pun bingung tak percaya karena jarang sekali kedua kaki bisa sekaligus kram keduanya, apalagi tampak dengan jelas bekas merah gigitan gigi gigi kecil di kedua kaki. Tetapi melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai mereka pun segan untuk terus bertanya, segelas teh panas dengan cepat muncul di hadapanku.
Setelah rona kemerahan sudah kembali mengisi pipiku yang pucat pasi. Barulah mereka bercerita, ternyata di minggu ini saja sudah ada tiga orang yang kakinya kram saat berenang di malam hari, tetapi mereka mengira mungkin karena suhu udara belakangan ini cukup dingin atau para perenang tidak melakukan pemanasan yang cukup.
Aku hanya bergumam….entah apakah diganggu roh yang sama.


Mojoville, Aug ’04

OddieZ
For Bro Eel at BV.

Pangsit Mie

Pangsit Mie

Anak tangga itu memang sangat tinggi, kasar dan berlumut, semen lapisan teratasnya sebagian sudah mulai terkelupas. Sore itu aku berdiri lagi di ambang pintu depot itu menatapi atas tangga itu. Semacam perasaan deja-vu meliputiku, ini seakan suatu adegan di film yang telah berulang kali aku saksikan. Udara mulai terasa dingin, adzan maghrib terdengar sayup di kejauhan, langit cepat sekali menggelap, matahari tak sabar secepat mungkin masuk ke peraduannya, Puluhan burung walet terbang di atas menuju ke sarangnya. Setelah kupikir lagi memang aku cukup sering membeli bakso di tempat ini, pangsit mie nya juga lumayan enak. Tempat yang menjadi ‘depot’ ini sebenarnya adalah bangunan sayap kiri dari rumah kuno yang besar sekali. Pemiliknya hanya memakai sebagian kecil dari rumahnya untuk berjualan. Aku sendiri lebih suka membeli baksonya, karena bakso itu buatan sendiri dan tidak memakai bahan pengawet sehingga rasanya enak, dan yang lebih penting..aku tidak perlu menunggu lama di sana. Entah mengapa, setiap kali aku ke sana tetap ada perasaan tidak enak menyelimutiku, lampu penerangan yang hanya sepuluh watt di langit langit yang tinggi khas rumah kuno itu tak cukup menerangi, ditambah lagi bau lembab yang tercampur dengan wangi pangsit mie yang sedang dimasak. Tetapi karena si Dia lebih senang makan pangsit mie, maka setiap kali aku harus menunggu pesanannya selesai, terpekur di sana sendirian mengamati anak tangga yang sama itu lagi.
Kupencet HP ku untuk membuka keylock melihat sudah jam berapa sore itu. Memang setelah punya HP aku enggan memakai arloji lagi, di rumah ada beberapa buah tergeletak tak terpakai mulai dari Swiss Army, Seiko, Swatch. Karena dengan HP yang sudah ada jam, kurasa tidak perlu lagi membuat pergelangan tanganku berkeringat memakai jam tangan lagi dan tidak perlu pusing takut kecopetan lagi. Seringkali teman-teman bertanya kapan jam jam tersebut mau dilelang, tiap kali aku hanya tersenyum saja…sayang khan meski jarang dipakai masih menjadi koleksi yang berharga. Hampir 15 menit aku menunggu, memang lambat sekali pelayanannya gerutuku, coba bayangkan kalo ada 5 pelanggan sekaligus yang datang, pasti aku harus menunggu sampai satu jam.
Tak sabar aku beranjak menuju pintu samping, dari pintu itu kita bisa langsung menengok ke dalam dapur. Tidak terdengar suara apapun, tampak sesosok tubuh berambut putih bersanggul, memakai kebaya, mungkin warna tidak begitu jelas mungkin luntur karena lamanya, hijau muda mungkin. Ibu tua itu berdiri setengan terbungkus diam mengaduk sesuatu di dalam panci. Kutanya dia apakah pesananku sudah selesai. Perlahan dia menengok ke arahku, astaga…keriput di mukanya yang pucat itu..seakan dia berusia satu abad, dari depan pintu yang tak jauh bisa kulihat kulit mukanya seperti sangat kering, bagai kulit ular yang hampir mengelupas. Bau lembab yang dari tadi tercium semakin menyengat, bagaikan membuka suatu lemari baju lapuk yang lama tidak dibuka. Bulu kudukku semakin merinding ketika dia membuka mulut menjawab,” Sebentar lagi ya..”. Mulutnya berwarna merah, terlihat beberapa giginya yang tersisa berwarna kuning. Mungkin seperti perempuan jaman dulu dia punya kebiasaan menyirih, pikirku menenangkan diri. Bau anyir langsung menyergap lubang hidungku bercampur dengan bau apek dan lembab tadi. Aku pun mengangguk dan bergegas kembali ke dalam depot yang lebih terang, di sana memang ditaruh empat meja kayu sederhana untuk pelanggan yang ingin bersantap di sana.
Belum sempat kunyalakan batang rokok yang baru kukeluarkan, muncul perempuan muda pelayan depot yang sering kulihat. “ Maaf lho Mas,” katanya tersenyum manis,” Tadi pangsitnya lagi habis, jadi harus dibuat dulu.” Aku mengganguk kecil menunjukkan pengertian. “ Kok sudah selesai? Kata Mbah di sebelah tadi masih sebentar lagi …”tanyaku. Raut muka si Mbak pun berubah aneh.” Wah Mas ini…ojo guyon lah. Wong di dapur ndak ada orang, dari tadi cuman saya sama TaCik (pemilik depot) yang sibuk di belakang mbuat pangsit.” Tak terasa batang rokok di tanganku jatuh ke lantai, bulu kudukku berdiri terus tak kunjung turun seakan aku seekor hyena, cepat cepat kubayar pesananku dan secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Sejak kejadian itu sampai sekarang aku masih belum ada keberanian untuk pergi ke depot itu lagi.

OddieZ
Mojoville, Mei 2003.