Wednesday, November 19, 2008

Musim ancaman Bom

Menggerutu Edward mencampakkan rokok yang hampir habis dihisapnya.

Senin pagi bukanlah waktu favoritnya, tetapi telepon dari Detasemen 88 Jakarta harus langsung ditanggapi.

Masalah yang lagi ngetrend, ancaman bom di plaza, terlalu mudah mengirimkan SMS, ataupun telepon langsung ke tempat target.

Tetapi baru kali ini ia mendapat perintah langsung untuk mencari pengirim terror, ancaman dikirim 30 menit yang lalu, ke Plaza Semanggi, Jakarta.
Dan Edward sudah di atas sebuah sepeda motor butut menuju ke lokasi handphone sang pelaku yang dilacak posisinya, dan itu adalah…di desa..di pinggiran Kepanjen, Malang, Jawa Timur.

Berbagai macam analisa bermunculan di benak Edward, dari profile pengirim teror yang sudah tertangkap, mungkin ini juga berasal dari seorang pelajar di desa yang iseng mengirimkan SMS, ke nomor telepon plaza di Jakarta yang mungkin didapatnya di internet. Dan saat ini sang pengirim sedang tertawa terkekeh-kekeh di depan TV mengamati orang-orang berhamburan keluar dievakuasi dari plaza itu.
Manggut-manggut Edward seakan membenarkan analisanya sendiri, hanyalah orang iseng yang tidak profesional yang cukup bodoh untuk terus menghidupkan handphonenya dengan menggunakan nomor yang sama. Dengan teknologi tracking yang ada, dalam hitungan menit koordinat HP langsung bisa dideteksi.
Pekerjaan memburu pemegang HP di desa Kepanjen tentulah paling cepat dilakukan olehnya, intel polisi yang daerah tugasnya di Kepanjen.

Blink..blink…cahaya kehijauan berpendar di layar LCD alat tracking yang digenggamnya.
Semakin…jalanan desa semakin sepi, menjauh dari pemukiman warga.
Ladang jagung dan tebu nampak di kanan kiri, mendekati hutan yang belum terjamah, sempat pusing juga si Edward, jika benar sasarannya ada di dalam hutan, pengejaran ini tak bakal berakhir dengan mudah. Dia harus kembali ke desa untuk mempersiapkan semua perbekalan yang bakal diperlukan.

Blink..blink…300 meter di depan, mengendap-endap Eddy ( banyak orang desa yang kesulitan membaca nama Edward, karena itu lebih akrab ia lebih dikenal dengan Eddy ) mengintip dari balik pepohonan di mana sepeda motornya telah diparkir tersembunyi.

Di tengah pematang sawah yang baru dipanen tampak sebuah gubuk tempat istirahat, dengan dinding anyaman bambu yang berdiri separuh, persis seperti yang ada di cerita-cerita klasik, di mana bu tani setiap membawa makan siang di dalam bakul, untuk diberikan kepada suaminya yang bekerja di sawah.

Tapi tak seorang pun nampak pagi itu di ladang.
Cericip burung kepodang sesekali bersahutan di atas pohon
Tak ada segerombolan pelajar iseng yang sedang berkumpul, tak ada seorangpun yang terlihat.
Mengendap maju, dicabutnya pistol yang tersarung di pinggang.
Mungkin juga ada sang empunya HP sedang tiduran di dalam gubuk dibuai semilir angin pagi yang segar.

Keringat sebesar jagung bermunculan di dahi.
Dikeraskan pegangan tangan pada pistol yang sedikit gemetar, jari telunjuk telah siap menekan pelatuk.

Selama ini preman, pencuri, perampok, berbagai orang telah pernah dihadapi Eddy.
Tetapi kali ini lain, kali ini teroris, seorang pelajar iseng ataukah seorang lulusan training militer di Afganistan, sungguh perbedaan yang sangat besar. Dia harus mempersiapkan diri untuk yang terburuk, karena nyawa taruhannya.

Pintu gubuk hanya satu meter lagi, dihirupkan udara panjang dan dia melompat ke depan pintu dengan pistol teracung ke depan..

Kosong, tidak ada satu makhluk pun di dalam.
Sejenak terpaku, matanya berkelebat melihat isi gubuk.
Tikar usang yang menjadi alas. Topi bambu yang tersandar miring di pojok lantai. Kendi tanah liat yang coklat menghitam, satu gelas yang berisi air separuh.
Sebuah ransel hijau yang tergantung di ujung tiang gubuk.

Seluruh panca indera Eddy bergetar penuh waspada, dari pengalamannya menjadi intel selama bertahun-tahun sesuatu menyuruhnya cepat pergi, dengan cepat dia mundur dua langkah, dan berancang- ancang untuk berlari.

Dan pada saat itu terdengarnya suara dering handphone dari dalam ransel hijau yang tergantung di tiang gubuk.

“Keparat ! Habislah aku,” pikir Edward bin eddy. Ancang-ancang untuk berlari pun tidak diteruskan, melompatlah ia ke permukaan sawah yang mengering dengan sisa sisa panenan padi…

Blar…..Gubuk itu lenyap, sisa sisa bangunan menyala ditelan api. Asap hitam tebal membumbung tinggi.
Suara ledakan yang cukup keras itu membuat beberapa petani yang sedang bekerja di ladang sekitar berlarian datang, untuk kemudian menemukan Eddy yang tengkurap pingsan berdarah, dengan luka bakar serta luka di punggung tertancap serpihan bambu, kayu serta entah apalagi.
Setidaknya masih ada hela napas lemah di tubuh itu.

Di kejauhan sesosok hitam beranjak menjauh, sambil memasukkan sebuah handphone ke dalam saku celana.


Oddiezz, November 2008.

1 comment:

Anonymous said...

hah? serius tah? cerita beneran tah?
met kenal juga..thx dah mampir