Thursday, May 3, 2007

Kolam Renang

Anggukan dari gadis penjaga counter menyambutku di kolam renang. Dari raut wajahnya yang lelah dapat disimpulkan bahwa tadi seharian pasti kolam renang penuh. Sehingga dia harus bekerja tak hentinya. Meski dia tetap dengan sopan menyapaku, sorotan matanya yang capek masih tetap tersirat dengan jelas.

Memang aku sengaja memilih malam hari untuk pergi berenang, di samping memang karena aku adalah seorang pegawai yang bekerja seharian, juga karena kolam lebih sepi, lebih leluasa untuk berenang di kolam yang ukurannya cukup kecil itu tanpa harus terus menghindar dari tabrakan dengan perenang lainnya. Suatu perasaan yang santai juga terasa jika aku berenang sendirian sambil berkhayal bahwa itu adalah kolam pribadiku.

Tetapi sebenarnya ada satu alasan lain mengapa aku memilih malam hari di mana sangat sedikit pemakai kolam, yaitu dengan begitu aku lebih leluasa menjalankan latihan dari ilmu pernapasan yang baru saja aku pelajari. Memang sedari dulu salah satu hobiku adalah mempelajari berbagai ‘ilmu’, berbagai buku telah kubaca dan beberapa orang telah pernah menjadi ‘guru’ ku. Memang bukan benar benar guru karena aku memang tidak pernah secara resmi menjadi murid, membayar uang sekolah atau les, masuk ke perguruan atau padepokannya, melainkan semuanya hanya karena takdir.
Suatu takdir yang sederhana dalam kehidupan, di mana dua manusia yang tidak saling kenal kebetulan bertemu di suatu tempat, berbincang bincang, bertukar pikiran, dari sinilah aku banyak bertemu dengan ‘guru’ku.

Seperti minggu lalu saat ku makan malam di warung kecil di sebelah rumah kos ku. Ada seorang bapak tua,berpakaian hitam-hitam, dengan ikat kepala dari kain batik, duduk diam di ujung bangku memperhatikan aku menyantap nasi rawon kegemaranku. Setelah aku selesai, barulah dia tersenyum menyapaku.
Setelah basa basi beberapa saat, barulah aku menyadari bahwa gelas kopi di tangannya selalu mengepul, seakan baru saja diseduh dengan air mendidih, padahal kami sudah lebih dari sepuluh menit bercakap cakap. Setelah kucoba berkonsentrasi beberapa saat akhirnya bisa ku’lihat’ bahwa tangannya yang keriput dengan kuku yang agak menguning terkena nikotin rokok kretek yang dihisapnya itu, mengalirkan hawa merah menyelimuti gelas kaca berisi kopi itu, membuat kopi itu selalu panas mendekati titik didih, mengingatkanku pada penghangat kopi elektrik di kantor.
Melihat diriku mengerutkan kening berkonsentrasi, sang bapak tua hanya tersenyum arif, rupanya dari tadi dia sudah mengetahui keadaan diriku, yang kata orang jawa ada sedikit ‘berisi’. Berturut turut tiga malam, aku sengaja terus makan rawon sebagai makan malamku, untuk dapat bertemu dengan sang bapak, dia sebagai orang yang ‘ngelmu’, ngangsu kaweruh, orang yang mencari pencerahan, orang yang menggali inti-jiwa, menyelami arti hidup, apa pun juga istilahnya, seperti biasanya tidak pelit untuk berbagi ilmu dan tips bila berjumpa dengan orang yang seakan oleh takdir dipertemukan dengannya. Sama sekali lain berlawanan dengan anggapan masyarakat umum selama ini, atau dalam cerita cerita silat, bahwa dua orang berilmu yang bertemu cenderung untuk saling mengadu ilmu, mencari gelar yang terkuat.

Sayangnya setelah itu, sang bapak tua kemudian tak pernah muncul lagi di warung itu, meskipun dengan sengaja aku berturut turut itu makan malam rawon untuk menunggunya, mungkin ia telah meneruskan pengembaraannya.

Secara kebetulan pula aku mendapatkan cara berlatih yang menyenangkan di kolam renang. Beberapa hari ini memang cuaca malam agak dingin, sehingga semakin jarang perenang malam. Saat masuk kolam saat itu, air terasa dingin sekali, karena itu secara tak sengaja kulakukan apa yang diajarkan oleh bapak tua minggu lalu, udara yang masuk lewat lubang hidung bagaikan dua sinar merah masuk ke dalam tubuh memasuki rongga dada turun terus berkumpul di satu titik sekitar setengah jengkal di bawah pusar, yang mana di salah satu buku yang pernah aku baca dinamakan titik ‘ Tan – Dien’. Kemudian di titik tersebut kumpulan sinar merah berkumpul laksana bola api yang berputar, dari kecil perlahan membesar seiring dengan masuknya napas terus menerus, setelah cukup besar maka sinar merah mulai dialirkan ke seluruh badan, kaki, tangan, sampai ke seluruh permukaan kulit. Beberapa saat kemudian, badan terasa hangat, dingin air kolam sudah tidak lagi terasa.
Setelah itu secara rutin, aku melakukan sedikit latihan setiap kali sebelum berenang. Terlebih lagi di dalam kolam yang penerangannya temaram ini, tidak akan tampak di dalam air, bila berlatih jurus jurus sederhana guna memperlancar peredaran hawa di dalam tubuh. Air juga terasa sebagai penghantar hawa yang baik di antara kedua telapak tangan, bahkan tidak perlu sampai kedua telapak tangan menyatu, air di antara telapak sudah dapat menjadi jembatan aliran hawa, mungkin ini berasal dari sifat air sendiri sebagai penghantar listrik yang baik. Dalam satu dan lain hal, chi / hawa murni memang banyak mempunyai keserupaan dengan aliran listrik.

Tetapi malam itu setelah beberapa saat di dalam kolam dan berkonsentrasi masuk ke dalam latihan. Tiba tiba kurasakan, walau dengan mata yang masih tertutup, sesosok tubuh di ujung lain kolam. Aneh, padahal waktu aku masuk tadi, jelas jelas tidak ada orang sama sekali, di dalam maupun di pinggiran kolam. Apakah mungkin dia baru masuk saat aku memejamkan mata beberapa saat lalu.
Tak percaya aku, saat kubuka mata tidak tanpa siapapun. Tapi dengan mata terpejam, ku’lihat’ dengan jelas sosok itu di dalam kolam, bersandar di dinding yang berseberangan dengan tepi kolam di mana aku berdiri. Tubuhnya berpendar redup, berlapiskan kabut tipis yang melilitnya bagai puluhan ekor belut. Bulu kudukku merinding saat, kurasakan bahwa sosok itu tengah menghadap ke arahku dan ‘menatapku’ terus menerus.

Perasaanku sangat tidak enak, sama persis seakan waktu menjelang kecelakaan mobil dulu yang hampir merenggut nyawaku, perasaan ini seringkali muncul kalau ada musibah yang akan menimpaku.
Sosok putih itu terasa berjalan pelan dalam air, perlahan mendekatiku, setiap langkah dia mendekat semakin kuat tercium olehku hawa yang yang dipancarkannya, hawa kebencian yang amat sangat, hawa balas dendam yang sangat jenuh, hawa membunuh yang telah memuncak…..
************
Kupusatkan konsentrasiku lebih kuat, sosok putih yang tampak samar samar itu menjadi semakin jelas, seperti kamera yang semakin tepat fokusnya. Wajahnya kurus dengan tulang pipi yang bertonjolan, matanya kosong tidak berbola mata hanya tampak dua rongga hitam yang sangat dalam, mulutnya menganga seakan menjerit keras tetapi tanpa suara yang keluar.
Tanpa suara? Salah rupanya anggapanku, dengan makin mendekatnya sosok itu, atau dengan makin terpusatnya konsentrasiku perlahan mulai terdengar suara jeritan dan tangisan yang menyayat hati, suara itu seakan ada seakan tidak, lain dengan suara manusia biasa, lebih menyerupai gaung, lebih ringan mengambang jernih, lebih jernih dari nada dering handphone merk apapun, tapi jika terdengar pasti membuat bulu kuduk berdiri.

Banyak orang yang mengatakan bahwa ada makhluk di alam di bawah manusia salah satunya bersemayam di habitat air, tapi baru kali ini aku sungguh sungguh bertemu dengannya.

Dalam salah satu buku yang pernah kubaca dijelaskan bahwa salah satu alam roh yang lebih rendah dari alam manusia, mengklasifikasikan jenis roh berdasarkan lima unsur, yaitu metal (chin), kayu (mu), air (shue), api (huo), tanah(du). Di mana setiap jenis mempunyai karakter tersendiri, yang muncul di depanku ini pastilah roh setan berunsur air, anehnya biasanya mereka senang tinggal di daerah yang tidak banyak manusianya, seperti di tepian sungai, di bawah jembatan, atau mungkin juga di pantai.
Mereka bersifat penyendiri, satu roh berada di satu tempat tempat kekuasaanya sendiri tanpa ada roh lainnya. Tidak seperti jenis roh berunsur kayu misalnya mereka tidak berkeberatan untuk tinggal bersama, jadi lumrah pada satu pohon beringin besar bersemayam beberapa roh sekaligus.
Setan air disebutkan biasanya diliputi oleh hawa kebencian yang amat dalam, mungkin karena pada umumnya mereka mengalami proses kematian yang tidak mengenakkan.
Saat membaca buku itu aku sempat heran bagaimana sang pengarang bisa mendalami karakter para setan, apakah sama dengan orang orang yang suka meneliti sifat orang berdasarkan Zodiac. Hanya saja karena setan tidak mempunyai tanggal lahir atau tanggal kematian sehingga tidak bisa digolong-golongkan zodiacnya, sehingga ia pun ‘menciptakan’ pembagian berdasarkan lima unsur utama yang sebenarnya adalah unsur dalam ilmu hongsui.
Tapi malam itu aku merasakan apa yang ditulisnya itu ada benarnya juga, hawa kebencian bercamput hawa membunuh yang meluap mendahului makhluk itu mencapaiku, membuat dadaku terasa sesak. Aku merasa seakan menjadi anak ayam yang akan menjadi mangsa seekor ular kobra, jelas jelas tahu bahwa di depannya ada seekor ular yang siap akan menerkamnya tapi terpaku tidak bergerak tidak mampu melarikan diri bagai terhipnotis oleh pandangan sang ular. Atau inikah yang dirasakan oleh korban vampire yang sering kutonton di film horror, yang sering kutertawakan dalam hati karena hanya bisa pasrah mempersilakan sang pangeran kegelapan untuk menghisap batang lehernya.
Sesaat aku terbengong itu, makhluk yang tampaknya maju dengan perlahan itu tak dinyana telah berada hanya dua meter di depanku. Belut belut kecil yang sedari tadi terus berputar mengelilingi sekujur tubuhnya bergerak maju ke arahku.
Tanganku bergerak mengatupkan kedua telapak di depan dada, secepat mungkin kukerahkan semua chi yang ada untuk mengelilingi tubuhku yang mulai menggigil kedinginan.
Kurasakan hawa hangat mulai menyelimutiku dari ujung kepada turun terus menyelubungi dada, perut turun terus ke bawah …
Tapi terlambat, kaki kananku kena……terasa gigi gigi yang runcing menhunjam masuk betis kananku, sekejap kemudian badan belut itu telah dengan erat melilit kakiku. Hawa dingin yang menusuk tulang merasuki tubuh melalui telapak kaki tepat di bawah ibu jari.
Banyak orang berpendapat bahwa manusia mempunyai sembilan lubang yang menghubungkan tubuh bagian dalam dengan keadaan luar, di mana keadaan luar bisa sebagai alam manusia maupun juga alam lain. Kesembilan lubang itu adalah dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, mulut, anus dan lubang kelamin. Semua interaksi antara keadaan di dalam tubuh seseorang dengan bagian luar dilakukan melalui lubang tersebut. Memang pandangan demikian adalah benar dari sisi pandang tertentu saja, kenyataanya masih ada lubang lubang yang tidak terlihat dengan kasat mata. Misalnya saja ada ajaran yang mengatakan bahwa beratus ribu lubang pori pori di permukaan kulit manusia adalah lubang perantara, bagian gerbang gerbang portal kecil yang berserakan di seluruh internet yang menghubungkan platform antara operating system yang dipakai, dalam ini kesadaran manusia itu sendiri, dengan lingkungan cyber di luarnya.
Bagaimanapun yang cukup sering kudengar adalah dua titik di telapak kaki manusia tepat di bawah masing masing ibu jari kaki merupakan gerbang portal yang cukup besar untuk keluar masuknya arwah atau roh atau kesadaran atau apa pun istilahnya dari seseorang atau sesuatu yang ingin masuk. Hal ini cukup kepercayai karena sewaktu kuliah semester akhir dulu, saat aku dengan beberapa teman KKN di salah satu desa di dekat Jogjakarta, salah seorang teman putri kerasukan saat membantu menebangi rumpun bambu yang menghalangi jembatan yang kami perbaiki. Beruntung salah satu pemuka desa yang menemani kami kerja bakti cepat bertindak. Dengan menekan satu butir merica putih di telapak kaki kanan temanku itu, ia memaksa roh yang masuk untuk keluar lewat telapak kaki satunya.
Setengah gemetar, tanganku mengulur jauh ke belakang berusaha meraih tangga aluminium untuk naik. Kekuatan setan air adalah paling besar jika dia berada di dalam air, banyak korbannya dibuat lemas tenggelam. Jadi pikirku dengan berusaha naik dari air kolam, kekuatannya dapat melemah dan kesempatan untuk menyelamatkan nyawa kecilku ini lebih besar.
Berhasil…..tangan kananku berhasil meraih anak tangga itu, tetapi saat itu juga kaki kiriku berhasil disergap oleh salah satu belut yang menyerang.
Arghhh…..tak terasa mulutku mengeluarkan teriakan cukup keras, cukup keras untuk mengalahkan bunyi TV yang tengah ditonton oleh para pegawai kolam renang. Dua orang pegawai laki laki bergegas menghampiriku.
Belum sampai mereka mencapaiku, sosok putih berselimutkan hawa kebencian itu telah melepaskan cengkeramannya dan dan mundur menjauh secepat ia tadi mendekat.
Memang pada dasarnya setan tidak suka terhadap hawa manusia. Tanpa disadarinya atau tidak setiap manusia yang masih hidup sedikit banyak pasti akan mengeluarkan hawa manusia atau Ren-Chi, yang termasuk hawa panas atau hawa ‘yang’, yang mana bagi para roh yang hidup di alamnya yang bersifat dingin atau ‘yin’ amatlah mengganggu. Oleh karena itu semakin banyak manusia berkumpul di suatu tempat kumpulan Ren Chi akan makin besar sehingga para makhluk dunia lain enggan mendekat.
Dibantu oleh mereka, aku bisa naik dari kolam itu setengah menyeret tubuhku.Dengan perasaan lemas kujelaskan pada kedua petugas kolam bahwa kakiku kram ototnya, mereka pun bingung tak percaya karena jarang sekali kedua kaki bisa sekaligus kram keduanya, apalagi tampak dengan jelas bekas merah gigitan gigi gigi kecil di kedua kaki. Tetapi melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai mereka pun segan untuk terus bertanya, segelas teh panas dengan cepat muncul di hadapanku.
Setelah rona kemerahan sudah kembali mengisi pipiku yang pucat pasi. Barulah mereka bercerita, ternyata di minggu ini saja sudah ada tiga orang yang kakinya kram saat berenang di malam hari, tetapi mereka mengira mungkin karena suhu udara belakangan ini cukup dingin atau para perenang tidak melakukan pemanasan yang cukup.
Aku hanya bergumam….entah apakah diganggu roh yang sama.


Mojoville, Aug ’04

OddieZ
For Bro Eel at BV.

No comments: