Thursday, May 3, 2007

Pangsit Mie

Pangsit Mie

Anak tangga itu memang sangat tinggi, kasar dan berlumut, semen lapisan teratasnya sebagian sudah mulai terkelupas. Sore itu aku berdiri lagi di ambang pintu depot itu menatapi atas tangga itu. Semacam perasaan deja-vu meliputiku, ini seakan suatu adegan di film yang telah berulang kali aku saksikan. Udara mulai terasa dingin, adzan maghrib terdengar sayup di kejauhan, langit cepat sekali menggelap, matahari tak sabar secepat mungkin masuk ke peraduannya, Puluhan burung walet terbang di atas menuju ke sarangnya. Setelah kupikir lagi memang aku cukup sering membeli bakso di tempat ini, pangsit mie nya juga lumayan enak. Tempat yang menjadi ‘depot’ ini sebenarnya adalah bangunan sayap kiri dari rumah kuno yang besar sekali. Pemiliknya hanya memakai sebagian kecil dari rumahnya untuk berjualan. Aku sendiri lebih suka membeli baksonya, karena bakso itu buatan sendiri dan tidak memakai bahan pengawet sehingga rasanya enak, dan yang lebih penting..aku tidak perlu menunggu lama di sana. Entah mengapa, setiap kali aku ke sana tetap ada perasaan tidak enak menyelimutiku, lampu penerangan yang hanya sepuluh watt di langit langit yang tinggi khas rumah kuno itu tak cukup menerangi, ditambah lagi bau lembab yang tercampur dengan wangi pangsit mie yang sedang dimasak. Tetapi karena si Dia lebih senang makan pangsit mie, maka setiap kali aku harus menunggu pesanannya selesai, terpekur di sana sendirian mengamati anak tangga yang sama itu lagi.
Kupencet HP ku untuk membuka keylock melihat sudah jam berapa sore itu. Memang setelah punya HP aku enggan memakai arloji lagi, di rumah ada beberapa buah tergeletak tak terpakai mulai dari Swiss Army, Seiko, Swatch. Karena dengan HP yang sudah ada jam, kurasa tidak perlu lagi membuat pergelangan tanganku berkeringat memakai jam tangan lagi dan tidak perlu pusing takut kecopetan lagi. Seringkali teman-teman bertanya kapan jam jam tersebut mau dilelang, tiap kali aku hanya tersenyum saja…sayang khan meski jarang dipakai masih menjadi koleksi yang berharga. Hampir 15 menit aku menunggu, memang lambat sekali pelayanannya gerutuku, coba bayangkan kalo ada 5 pelanggan sekaligus yang datang, pasti aku harus menunggu sampai satu jam.
Tak sabar aku beranjak menuju pintu samping, dari pintu itu kita bisa langsung menengok ke dalam dapur. Tidak terdengar suara apapun, tampak sesosok tubuh berambut putih bersanggul, memakai kebaya, mungkin warna tidak begitu jelas mungkin luntur karena lamanya, hijau muda mungkin. Ibu tua itu berdiri setengan terbungkus diam mengaduk sesuatu di dalam panci. Kutanya dia apakah pesananku sudah selesai. Perlahan dia menengok ke arahku, astaga…keriput di mukanya yang pucat itu..seakan dia berusia satu abad, dari depan pintu yang tak jauh bisa kulihat kulit mukanya seperti sangat kering, bagai kulit ular yang hampir mengelupas. Bau lembab yang dari tadi tercium semakin menyengat, bagaikan membuka suatu lemari baju lapuk yang lama tidak dibuka. Bulu kudukku semakin merinding ketika dia membuka mulut menjawab,” Sebentar lagi ya..”. Mulutnya berwarna merah, terlihat beberapa giginya yang tersisa berwarna kuning. Mungkin seperti perempuan jaman dulu dia punya kebiasaan menyirih, pikirku menenangkan diri. Bau anyir langsung menyergap lubang hidungku bercampur dengan bau apek dan lembab tadi. Aku pun mengangguk dan bergegas kembali ke dalam depot yang lebih terang, di sana memang ditaruh empat meja kayu sederhana untuk pelanggan yang ingin bersantap di sana.
Belum sempat kunyalakan batang rokok yang baru kukeluarkan, muncul perempuan muda pelayan depot yang sering kulihat. “ Maaf lho Mas,” katanya tersenyum manis,” Tadi pangsitnya lagi habis, jadi harus dibuat dulu.” Aku mengganguk kecil menunjukkan pengertian. “ Kok sudah selesai? Kata Mbah di sebelah tadi masih sebentar lagi …”tanyaku. Raut muka si Mbak pun berubah aneh.” Wah Mas ini…ojo guyon lah. Wong di dapur ndak ada orang, dari tadi cuman saya sama TaCik (pemilik depot) yang sibuk di belakang mbuat pangsit.” Tak terasa batang rokok di tanganku jatuh ke lantai, bulu kudukku berdiri terus tak kunjung turun seakan aku seekor hyena, cepat cepat kubayar pesananku dan secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Sejak kejadian itu sampai sekarang aku masih belum ada keberanian untuk pergi ke depot itu lagi.

OddieZ
Mojoville, Mei 2003.

3 comments:

dimple said...

Maleh pengen bakwan goreng'e sing sak bal tenes kae...

dimple said...

MI PANJANG UMUR
BAHAN :
500 gr mi keriting, diseduh
2 sdm kecap manis
2 sdm kecap asin
150 gr udang kupas
6 bh bakso, dipotong-potong
15 butir telur puyuh, direbus matang
50 gr kucai, dipotong-potong
1 batang daun bawang, diiris halus
150 gr taoge
150 ml kaldu ayam
BUMBU HALUS :
1 1/4 sdt garam
1/2 sdt merica
3 siung bawang putih
CARA MEMBUAT :
Aduk mi dgn kecap manis & kecap asin hgg rata.
Tumis bumbu halus smp matang. Mskkan udang, bakso, & telur puyuh smbl diaduk hgg udang berubah warna. Tuang kaldu. Masak smp bumbu meresap.
Tuang mi ke dlm tumisan bakso.
Tambahkan kucai, daun bawang, & taoge smbl diaduk hgg bumbu meresap.
Utk 5 porsi

dimple said...

PANGSIT DAGING KEJU

Bahan:
20 lembar kulit pangsit, siap pakai
minyak goreng

Isi:
2 sdm minyak sayur
1 siung bawang putih, cincang halus
3 batang kucai, cincang
100 gr daging sapi cincang
1 sdm kecap Inggris
1 sdm saus tomat botolan
1/2 sdt merica hitam bubuk
1/2 sdt gula pasir
1 sdt garam
50 g keju Cheddar, parut

Cara membuat:
Tumis bawang putih hgg kuning. Tambahkan kucai & daging cincang. Aduk hgg berubah warna. Masukkan bumbu, aduk hgg kering. Angkat. Tambahkan keju parut, aduk rata. Sisihkan.

Ambil selembar kulit pangsit, taruh 1 sdt adonan isi di bagian tengahnya. Tutup dgn selembar kulit pangsit yg lain. Rekatkan kelilingnya dgn air. Tekan-tekan dgn ujung garpu hingga rapat. Goreng dlm minyak panas & banyak hingga kuning kecokelatan. Angkat & tiriskan.

Untuk 10 buah