Thursday, July 5, 2007

Another reason for Cremation

That why I choose cremation, and ashes to the sea.
=====
Dihapusnya tetesan air yang mengalir perlahan turun dari sudut matanya. Perasaan sedih bercampur jengkel berkecamuk tak keruan di dalam dadanya.

Malam semakin larut, masih enggan rasanya A-Ying memejam mata, terlintas kejadian seharian tadi yang terus menghantuinya…..

Pagi itu kompleks pemakaman Cina di daerah Singosari, sebelah Utara kota Malang, sangatlah ramai. Bergerombol orang orang di sekitar pemakaman. Mulai dari tukang parkir dan tukang jual minuman di pinggir jalan, orang tua, anak muda dan anak kecil yang berkeliaran di antara makam.

Hari itu adalah Qing Ming alias Cheng Beng, hari tradisi bagi orang Cina untuk mengunjungi makam leluhurnya. Masyarakat sekitar pun telah sangat hafal dengan hari itu, karena mereka juga berharap dapat mengais rejeki. Mulai orang tua sampai anak kecil yang minta minta dibagi uang recehan.

Seperti tahun sebelumnya A-Ying pagi itu juga berangkat dari rumah untuk mengunjungi makam orang tuanya. Diangkatnya keranjang yang cukup besar berisi makanan yang akan digunakan untuk sembahyang nantinya. Sengaja ia menumpang mikrolet dari rumah, karena sudah dipastikan akan kesulitan untuk memarkir sepeda motor bututnya di parkiran makam yang pasti penuh itu.
Sang kekasih A-Yang dengan setia menemaninya berjalan di samping, membawa satu tas berisi lailin, hio serta beberapa perlengkapan lain untuk menyiangi rumput di atas makam.

Seperti tahun lalu pula mereka berangkat dengan hati was was karena keamanan di makam saat Cheng Beng makin lama makin parah. Tak luput dari perkiraan, kali ini juga seperti itu. Mulai dari pintu masuk makam, anak anak kecil berkerubung minta dibagi uang receh. Setelah itu menyusul giliran orang orang tua. Untuk ini mereka telah mempersiapkan recehan logam yang cukup banyak untuk dibagikan.

Dengan susah payah A-Ying berdua melewati kerumunan orang dan sampai di makam orang tuanya, mereka mulai menata makanan untuk sembahyang. Beberapa anak muda yang berambut gondrong mulai mendekat beberapa di antara mereka membawa sabit, dengan memaksa mereka membersihkan makam.

Setelah secara sembarangan mengayun ayunkan sabit dan mencabut beberapa batang rumput, mereka pun minta imbalan. Terpaksa A-Yang pun mengeluarkan lembaran lima ribuan yang terselip di saku belakang jin nya. Tetapi anak anak muda itu malah berteriak teriak marah sambil mengumpat dengan kata kata kotor, “ Lima ribu rupiah, apa kamu kira kami ini pengemis, kami di sini bantu njaga makam tahu ! “. Terpaksa A Yang pun memberikan sisa satu satunya lembaran puluhan ribu yang ada. Begitu pun mereka masi pergi dengan mengomel-ngomel.

Di tengah kesibukan Aying dan A Yang menyiangi rumput dan menyapu kotoran di sekitar makam, segerombolan lain anak muda datang. Kali ini yang datang lebih banyak ada tujuh orang, penampilan mereka juga lebih menyeramkan, tato tengkorak di lengan kanan salah seorang dari mereka. Sama dengan gerombolan sebelumnya mereka pun memaksa untuk membantu membersihkan makam.
Tetapi karena makam sudah hampir selesai dibersihkan, ditambah lagi sudah tidak ada uang di kantong maka A Yang pun menolak dengan halus. Tetapi gerombolan ini tidak mau tahu, mereka malah minta ‘ uang keamanan’ , setelah ditolak mereka pun marah marah. Mendengar suara keras, dua orang Hansip pun mendekat, tetapi bukannya mereka menertibkan malahan mereka minta agar A Ying berdua memberikan uang secukupnya untuk mereka.
Karena benar benar telah habis uang yang dibawa, tentu saja A Ying berdua tidak dapat memberi uang lagi.
Kemudian gerombolan anak muda itu mengamuk, hio hio yang tertancap dicabuti, makanan yang ditata di depan makam dijarah, yang dapat dimakan dimakan, yang tidak disukai ditendang dan diinjak injak. Dengan bantuan dari kedua Hansip, A-Ying berdua dengan susah payah meninggalkan area pemakaman.

Malam makin larut, air mata telah menetes habis.
Kantuk mulai membuai, mengajak A Ying untuk tenggelam dalam tidur……yang jauh lebih damai.


Oddiezz
March 2004

3 comments:

Anonymous said...

Jadi inget ritual Cheng Beng bertahun-tahun lalu, setiap tahun pergi ke makam Kakek di Gunung Gadung, Bogor. Belum juga masuk kompleks pekuburan, di sepanjang jalan udah bejibun orang yang bawa kaleng bekas atau ember plastik kecil untuk minta recehan. Seru, tapi agak nakutin karena jumlahnya buanyak banget. :)

Anonymous said...

BTW, A Ying akhirnya meninggal, atau...?

Oddiezz said...

A ying? eh akhirnya gimana yah...life goes on.:)