Saturday, June 23, 2007

Gang Makam

going thru...my old writing last nite....
wondering how could I come out with that kindda stuff :)

-------------------

Malam makin larut, dituntunnya sepeda motor tuanya melewati gang sempit menuju rumahnya.
Di sore hari masih diijinkan pengendara motor untuk menaiki motor melewati gang tersebut, tetapi sesuai dengan kesepakanan warga selepas pukul sembilan malam, semua motor harus dimatikan mesinnya dan dituntun supaya tidak mengganggu ketenangan warga beristirahat.

Kegiatan di Vihara lumayan sibuk, ia harus membantu memberesi kursi kursi yang disewa untuk para peserta ceramah biksu tamu dari Jakarta itu. Untunglah hari ini hujan tak turun seperti hari hari sebelumnya.

Sebentar lagi harus dilalui daerah gang yang bersebelahan dengan pekuburan itu. Setiap kali ia melewati daerah itu pasti bulu kuduk meremang, meski untungnya sampai sekarang masih belum dijumpai sesuatu yang aneh, tak urung cerita yang berulang kali didengar setiap kali mengobrol dengan anak muda sekampungnya terus melintas di benaknya,
mulai dari sosok tubuh wanita yang berwarna putih yang sesekali tampak melayang di antara pohon kamboja.

Ada juga anak muda yang minggu lalu pindah dari tempat kostnya di kampung itu lantaran saat ia berjalan pulang di sebelah pekuburan itu hampir terjatuh karena tersandung, setelah dilihat ternyata sebuah kepala manusia yang memandangnya dengan mata melotot.

Akhrinya dia mencapai bagian yang paling seram dari kampungnya itu, tetapi mulutnya masih berkomat kamit membaca Ratana Sutta, mencoba memancarkan Metta kepada semua makhluk, agar dirinya tidak diganggu seperti yang telah dialami oleh beberapa temannya.

Angin berhembus semakin dingin, setelah dirasakan ternyata yang berhembus, hanyalah di tengkuk lehernya saja, seperti……seperti ada seseorang yang sengaja meniup niup lehernya bagian belakang.
Lampu neon yang menyala temaram seakan tak mampu menguak tabir gelapnya malam. Tepat saat ia lewat di bawah lampu itu, tiba tiba lampu itu berkedip beberapa kali dan padam.
Karena mesin motornya tidak dinyalakan, hampir tak ada cahaya yang menerangi jalan di depannya, terpaksa langkah kakinya melambat.
Ditengoknya ke atas, bulan pucat yang hanya setengah itu pun juga sedang bersembunyi di balik awan yang tebal.

Seperti dikatakan orang, bila salah satu inderamu tidak berfungsi maka indera yang lain akan lebih peka.
Seperti orang buta, indera pendengaran dan perabaannnya akan menjadi lebih peka dari orang biasa.

Mungkin ini yang sedang terjadi padanya, karena gelapnya malam hampir seakan membutakan pandangannya, maka bunyi bunyi serangga malam terdengar makin keras, bunyi jengkerik, sampai seakan terdengar jelas kepakan kelelawar yang kebetulan terbang rendah di atas kepalanya.

Demikian juga dengan indera penciumannya, pertama tama tercium bau kecut keringatnya sendiri, teringat bahwa sejak tadi pagi sampai hampir tengah malam ini, dirinya masih belum sempat mandi lagi, bahkan karena sangat sibuk, mencuci mukapun tidak sempat.

Kemudian samar samar tercium bau sampah yang busuk, pasti pabrik pengolahan makanan ternak yang terletak lumayan jauh dari gang tempat tinggalnya lagi melepas udara busuk hasil samping dari proses produksinya.

Namun kemudian bau bau itu hilang semuanya tertutup oleh suata bau wangi yang cukup menyengat, bau bunga, bau bunga Kenanga, seperti bau dari salah satu merk cologne penyegar yang getol dipromosikan di TV untuk para gadis ABG, tetapi lebih menyengat, lebih menyerupai bau wangi yang tercium pada bunga, ya….bunga yang digunakan para pelayat untuk ‘nyekar’ , untuk ditaburkan di atas makam.

Sepeda motor tua yang dituntunnya terasa semakin berat, seakan ban rodanya kempis atau seakan……ada penumpang yang duduk di jok belakangnya.

Keringat dingin menetes deras di dahinya, setengah berlari ia menyeret sepeda motor tuanya.
Hembusan angin dingin di tengkuk belakangnya semakin sering, terasa seperti hembusan napas orang.
Bunyi jengkerik dan serangga lainnya hilang, sunyi senyap entah hilang ke mana. Hanya terdengar langkah sepatunya setengah terseret, napasnya yang terengah engah, tetapi semilir bau bunga itu terus menyelimutinya.

Akhirnya sampailah ia pada lampu neon penerangan jalan berikutnya, diayunkan kakinya lebih cepat ke dalam cahaya lampu itu , seperti ngengat terbang menuju cahaya lilin.
Begitu jalan gang tampak mulai terang di depannya, motor yang didorongnya terasa menjadi ringan, bau bunga Kenanga pun menghilang.

Diberanikan dirinya untuk menoleh ke belakang, tak tampak suatu apapun.
Dua puluh meter kemudian sampailah ia ke rumah kontrakannya, dengan tangan setengah gemetar dibuka kunci ruang tamu.
Ketika dia memarkir sepeda motornya di ruang tamu, tangannya terasa lengket saat menyentuh permukaan jok belakang.

Terhenyak dia duduk di kursi, saat dilihatnya jok belakangnya kotor….
lengket dengan tanah pekuburan yang masih merah,

seakan seseorang yang berlumuran tanah baru saja duduk di sana.

OddieZ
Mojoville, April ‘04

No comments: